Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Monday, July 4, 2016

KHUTBAH IDUL FITRI: FITRAH, ADAB KEPADA SANG PENCIPTA, DAN PESAN DAMAI ISLAM

Assalamu’alaykum warahmatullah wa barakatuh

الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ 3 X لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْد ،

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ هَدَانَا الله ُ ، أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . أمَّا بَعْدُ,
فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ :

Makna Fitrah dan Idul Fitri
Allah akbar Allah akbar Allah akbar wa lillahil hamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan Allah.
Ramadan telah meninggalkan kita, dan idul fitri menemui kita. Ramadan berpisah dengan kita, dan kita berucap seperti ucapan orang-orang arif  Muwada´ muwada’ ya ramadhan, muwada` alayna bi al-ghufran (Selamat tinggal wahai ramadhan, tinggalkanlah kami, disertai dengan pngampunan dari Allah).

Idul fitri kita sambut dengan suka cita dan bahagia, karena  kita  mengharap bahwa dengan kedatangannya, kita kembali kepada fitrah kesucian kita. Dengan kedatangannya kita seperti yang dilukiskan oleh rasul saw, mudah-mudahan kita menjadi seperti seorang bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya, terbebaskan dari dosa, terbebaskan dari noda.

Kalau kita mempersilakan bulan ramadan berangkat meninggalkan kita, dengan harapan kiranya Allah mengampuni dosa kita, maka idul fitri kita sambut dengan ucapan taqabbalalllah minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kebajikan kita, saya dan anda) serta mina al-aidin wal faizin (smoga kita termasuk kelompok yang kembali pada fitrah kesucian dan kelompok yang meraih kemenangan).

Menarik untuk kita hayati bahwa ucapan kita minal aidin wal faizin kita kemukakan dalam bentuk plural, jama’. Kita ingin termasuk bersama-sama dalam kelompok, dalam jamaah, orang-orang yang meraih kemenangan. Al-Qur’an tidak mengajarkan kita, untuk berkata semoga saya termasuk kelompok orang-orang yang kembali, yang meraih kemenangan, tapi semoga kita. Karena ajaran agama kita, ajaran agama Islam, mengajarkan kebersamaan. Oleh karena itu tidak temukan dalam al-Quran kata saya menang, afuzu, kecuali sekali, itupun diucapkan oleh orang-orang yang hatinya tidak tersentuh keimanan. Karena memang mereka hanya ingin menang sndiri, mereka tidak prnah ingin hidup dalam kebersamaan. Semoga dengan idul fitri, kita sebagai bangsa dan sebagai umat, bisa hidup dalam kebersamaan.
(Shihab, 2009)

Allah akbar Allah akbar wa lillahil hamd
Jamaah shalat idul fitri yg dimuliakan Allah.
Kata Id al-Fitr sendiri paling tidak mengandung dua makna:
-kembali makan pagi, sarapan.  al-futur. Karena pada hari ini kita kembali makan pagi, setelah sebulan lamanya kita berpuasa. Pada hari ini kita dilarang utk berpuasa.
-kembali pada kesucian. Al-‘awdah ila al-fitrah.
Pada hari ini kita idealnya, bisa kembali kepada kesucian, fitrah, kita, setelah kita sebelum lamanya digembleng, di bulan ramadhan, yang dijuluki sebagai shahr al-`ibadah, shahr al-quran, shahr al-rahmah dan sebagainya.

Hari ini dinamakan disimbolkan sebagai Id al-Fitr, karena tujuan kita memang kembali ke kesucian. Proses kembali kepada kesucian ini adalah proses panjang tak kenal henti. Dalam khazanah tasawuf sering diungkapkan dengan istilah tazkiyat al-nafs (pembersihan jiwa).


Kemudian apa sebenarnya arti fitrah?
Kata fitrah adalah kata benda (masdar) dari kata kerja fatara. Kata ini berarti khalaqa, menciptakan. Disebutkan sebagian ulama; Ana fatartuha, artinya ana bada’tuha min ghayr mithlin. (Aku menciptakannya tanpa ada model sebelumnya, tanpa contoh). Dari itu, kata fitrah identik dg kata khaliqah. perangai dasar manusia, pada saat diciptakan, yakni condong pada kebenaran dan kebaikan (al-mayl ila al-haqq wa al-khayr).

Fitrah adalah sesuatu yang sesuai dengan asal kejadian alam dan manusia, ketika mula pertama diciptakan Allah. Fitrah adalah kesucian yang bersemayam di dalam diri kita sejak kita diciptakan, saat ibu mengandung, sebagaimana firman Allah swt:




Fa-aqim wajhaka li-ddini hanifan fitrata-llaha-llati fataran-nasa ‘alayha, la tabdila li-khalqillah, dhalika-ddin-ul-qayyimu wa lakinna akthara-nnasi la ya’lamun.
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum/30:30)”.

Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang terikat dengan “perjanjian asalnya/primodialnya” sebagai makhluk yang sadar kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan sebagaimana firman Allah swt:




Wa-idh akhadha rabbuka min bani Adama min zuhurihim dhuriyyatahum wa-ashhadahum ‘ala anfusihim alastu birabbikum qalu bala shahidna, an taqulu yawmal-qiyamati inna kunna ‘an hadha ghafilin
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-‘A’raf/7:172).

Allah akbar Allah akbar Allah akbar wa lillahil hamd
Agama Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah, karena memperhatikan kebutuhan fisik, sosial dan spiritual manusia secara seimbang. Agama Islam adalah kesinambungan dari ajaran monoteism yang dibawa Nabi Ibrahim alayhi al-salam. Ajaran inilah yang diungkapkan, dilukiskan al-Qur’an sebagai din  al-qayyimah. Yang oleh sementara mufassir diartikan sebagai din al-millah al-qayyimah (agama dari kelompok yang lurus).

Untuk lebih jelasnya, sekarang kita lihat, apa sebenarnya arti kata Islam:
-salam (damai)
-salamah (keselamatan)
-silm (udkhulu fi al-silm kaffah)  (penyerahan diri secara total pada Allah).
 al-khudhu` wa al-inqiyadh li al-khaliq, li al-mahbub

Islam sebagai bentuk kepasrahan total ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. Beliau telah menunjukkan kpasrahan tulus, sampai beliau ikhlas, pasrah ketika diperintahkan Allah untuk menyembelih ismail, anak yang sangat dikasihinya.

Karena itu disebutkan dalam al-Qur’an:
Ma kana ibrahimu yahudiyan wa la nasraniyan walakin kana hanifan musliman wa ma kana min al-mushrikin.
Juga disebutkan dalam ali Imran 95: fattabi’u millata ibrahima hanifan wa ma kana min al-mushrikin.
Hanifan, jelas ditandaskan dalam al-Qur´an untuk menunjukkan kelurusan ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Dalam kerangka itu, kemudian sementara ulama menganjurkan bahwa, kita seyogyanya menjunjung dan mengembangkan pola keberagamaan yang hanifiyah samhah, yang lurus dan lapang.


Makna dan Implikasi Takbir dan Tahmid
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar  wa lillahil hamd.
Jamaah yang dirahmati Allah,
Pada hari ini, dan juga pada malam takbiran, kita sebagai umat Islam mengumandangkan takbir, tahmid, tahlil, sebagai pernyataan syukur kita pada Allah dan penegasan akan keesaan dan kebesaran Allah.
Sekarang kita hayati lebih dalam, apa sebenarnya makna dari kalimat-kalimat tayibah itu?

Pernyataan Allah akbar (Allah Maha Besar) menegaskan akan keagungan dan kebesaran Allah. Menurut sementara ulama, kalimat ini juga menandaskan dan mengandung makna lain yang merujuk pada orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Orang yang mengucapkan kalimat tersebut, sebaiknya menyadari bahwa kalimat tersebut mengandung implikasi:
  1. ana asghar al-makhluqat (saya makhluk yang paling rendah),
  2. ana awhan al-mawjudat, ana ahqar al-khalaiq, qabil li al-nuqsan wa al-khataya (saya makhluk paling hina dina yang tidak luput dari kekurangan dan kealpaan).

Implikasi dari kalimat takbir yang disebutkan tadi sebaiknya kita hayati terutama ketika kita beribadah. Dan pada gilirannya akan terbawa dalam muamalah, interaksi dengan orang lain. Sehingga kita tidak merasa paling benar, lebih baik dari org lain, apalagi sampai menggunakan kalimat Allah akbar, untuk mensyahkan, melegitimasi, perlakuan kita yang kurang pantas pada orang lain, hanya semata karena kita merasa paling benar.

Juga karena menyadari sebagai makhluk yang tidak luput dari kekurangan dan kealpaan, maka kita juga merasa perlu meminta maaf jika melakukan kesalahan pada orang lain. Hal ini sangat disadari oleh umat Islam Indonesia makanya mereka membudayakan “halal bi halal”. Walau kosa kata “halal bi halal” sendiri kurang dikenal di dunia arab, tapi budaya dan tradisi ini mencerminkan semangat dan ajaran Islam. Dalam hal ini, kiranya perlu mengemukan sebuah hadith: man kaana ‘indahu mazlamatun li akhihi falyastahlilhu al-yawm (barang siapa melakukan hal-hal yang kurang berkenan di hati org lain, maka hendaklah dia meminta maaf, meminta dihalalkan, pada hari itu).

Itu antara lain makna dari kalimat takbir yang kita kumandangkan pada hari raya idul fitri. Adapun kalimat tahmid (wa lillah al-hamd, bagi-Nya-lah segala puji), merupakan pernyataan rasa syukur atas segala nikmat yang telah kita terima sebagai manusia. Dikisahkan, bahwa junjungan kita nabi Muhammad saw adalah orang yang sangat bersyukur. Diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang bertanya: wahai Rasul, mengapa engkau, masih mau bersusah payah untuk melakukan shalat malam, sehingga kakimu sampai bengkak, padahal engkau sudah dijanjikan masuk surga? Rasululllah menjawab: Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur.

Implikasi lain dari kalimat tahmid ini adalah husnuzzann billah (berprasangka baik kepada Allah). Kadang kita sering tergesa-gesa, misalnya ketika doa kita, dan keinginan kita, belum dipenuhi, belum dikabulkan oleh Allah. Kita lantas berprasangka, Allah kurang perhatian dengan kita, padahal kita sudah berdoa dan beribadah dengan tekun. Padahal, sebagaimana kata para ‘ulama, belum dikabulkannya doa kita mesti didasarkan atas kebijaksanaan Allah, atas hikmah-Nya, sebagai sebaik-baik pengatur urusan, khayr al-mudabbirin.


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى

Artinya:
Nabi bersabda: Allah Ta'ala berfirman:"Aku menurut persangkaan hamba-hambaKu,dan Aku bersama dia, ketika dia menyebut dan mengingatKU“
(HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675)


Adapun tahlil (la ilaha illa Allah) menandaskan pengakuan akan keesaa Allah. Kalimat ini juga mengandung makna bahwa kita menjadikan Allah semoga satu-satunya tujuan, dan hanya mengharap ridha-Nya, sebagaimana ungkapan yang sering diucapkan oleh para 'ulama', Ilahi anta maqsudi, wa ridhaka matlubi (Wahai Tuhanku, cuma Engkau satu-satunya tujuan, dan hanya ridha-Mu yang aku harapkan.


Adab ma’a al-khaliq
Allahu akbar Allahu akbar Allah akbar wa lillahil hamd.
Jamaah shalat idul fitri yang dirahmati Allah.
Ketika mengumandangkan takbir dan tahmid di hari raya idul fitri, sang bilal sering mengucapkan frase: mukhlisan lahu al-din (seraya mengikhlaskan segala ketaatan kita). Dalam kaitan ini, kiranya saya perlu mengutip perkataan seorang ‘ulama, tentang adab beribadah kepada Allah.

Dalam beribadah kepada Allah sebaiknya kita menjaga adab, sopan santun sebagaimana layaknya hamba. Kita jangan kelewat percaya diri bahwa amalan kita itu layak mendapatkan pahala dari Allah. Sebab rasa bangga dan percaya diri yang berlebihan akan amalan kita bisa berpotensi merusak nilai amalan kita. Oleh karena itu, ulama tersebut menganjurkan untuk mengucapkan kalimat berikut ketika kita beribadah:
“Ya Allah, aku malu mempersembahkan amalan ini kehadiratmu. Maafkanlah atas segala kekurangan dan kekurangmampuanku dalam menyembah dan bersyukur kepadaMu sebagaimana layaknya Engkau disembah dan dipuja.”
Dikisahkan oleh sohibul hikayat (sebagaimana dituturkan kembali oleh Sheikh Nazim al-Haqqani), ada seorang wali yang setiap datang ke masjid untuk berjama´ah, dia senantiasa rela menunggu sampai semua jama´ah masuk ke masjid dulu. Setelah itu dia baru masuk ke masjid, berdiri di samping rak sepatu dan melaksanakan shalat di situ. Seusai shalat, dia langsung lari keluar seraya berujar dalam batin, „Puji syukur pada Allah yang telah menutupi kejelekan dan aibku sehingga tidak ada orang yang mengetahuinya. Jika mereka ini tahu apa sebenarnya yang tersembunyi dalam diriku tentu mereka akan menyeretku keluar dari masjid, dan melempariku dengan sepatu.“

Dalam kaitan dengan ini perlu juga kita tengok salah ssatu perkataan Sayyidina Umar Ibn Khatthab r.a., salah satu sahabat Nabi tercinta. „Seandainya semua orang masuk sorga kecuali satu orang; aku khawatir satu orang itu aku."

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta
Allahu akbar Allahu akbar Allah akbar wa lillahil hamd.
Jika kita menengok khazanah klasik Islam, kita mungkin menjumpai bahwa salah satu kategori jiwa yang utama adalah "jiwa yang senantiasa dipenuhi dengan rahmat-Nya" (al-nafs al-rahmaniyah). Jiwa kategori ini merupakan "wadah" yang memantulkan (dengan kadar yang relatif tinggi) akan sifat Allah yang Maha Pengasih (al-Rahman). Makhluk yang dianugerahi Allah dengan kondisi jiwa semacam itu akan lebih mengedepankan "berpikir positif" daripada "berpikir negatif", perasangka baik daripada prasangka buruk. Bahkan dia dengan senang hati mendoakan orang yang berseberangan dengan dia, seraya menyadari bahwa orang yang berseberangan itu juga layak mendapat rahmat-Nya sehingga selalu tertuntun ke arah kebaikan.

Makhluk yang berjiwa rahmani ini juga menyadari bahwa kekerasan atas nama apapun kurang bisa diterima, baik atas nama stabilitas politik, atas nama paham keagamaan tertentu atawa atas nama pembersihan etnis. Semua kekerasan itu berpangkal pada asumsi bahwa "kita diperkenankan dan berhak melakukan kekerasan pada makhluk yang ditakdirkan Allah untuk berbeda dengan kita." Atau dengan kata lain, kita berpandangan bahwa, “mereka kurang layak menyandang status manusia".
Makhluk berjiwa rahmani tadi juga menyadari bahwasanya, “wa rahmati wasi´at kulla shay´(Rahmat-Ku, rahmat Allah, menjangkau dan meliputi segala sesuatu)”. Kalimat tersebut menandaskan bahwa rahmat Allah itu sangat luas, tidak terbatas, dan meliputi segala sesuatu di alam semesta, termasuk antara lain orang-orang yang sementara ini berseberangan dengan kita. Bahkan dilukiskan bahwa kapas yang berhamburan tertiup angin pun mendapatkan rahmat Allah. Salah satu pengejawantahan dari ajaran Islam, yang bertujuan memberikan rahmat pada sekalian alam, adalah sebuah hadith yang mengisahkan seseorang yang diperkenankan Allah untuk masuk surga karena telah memberi minuman pada anjing yang kehausan. Bahkan dikisahkan anjing milik Ashab al-Kahf (sekelompok pemuda taat yang tertidur di gua) pun diperkenankan masuk surga (yang merupakan manifestasi rahmat Allah).
Islam dan Pola Keberagamaan yang Santun
Allahu akbar allahu akbar wa lillahil hamd.
Jamaah shalat idul fitri athabakumullah.
Setelah melihat makna fitrah, Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah, dan sifat yang rahim (penuh rahmat, nebarkan rahmat) sebagai salah satu indikasi fitrah. Akhir-akhir ini kita tersentak dan prihatin dg aksi terorisme yg sering kita dengar di berbagai belahan dunia, termasuk negeri kita cinta tercinta. Memang fundamentalisme itu bukan hanya ada di agama Islam, juga ada di agama lain, namun dengan adanya peristiwa-peristiwa itu kita seharusnya berkaca, otokritik, sehingga wajah Islam yang sebenarnya ramah itu tidak tercoreng dengan adanya aksi-aksi yang kurang manusiawi. Islam yang rahmatan li al-´alamin harus kita tunjukkan, tekankan kembali pada dunia.
Para ulama di negara kita tercinta senantiasa berupaya menanamkan kepada santri-santrinya  bahwa mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan berada di Indonesia. Orang Islam yang kebetulan di Indonesia boleh jadi tidak peduli apapun yang menimpa Indonesia, tapi orang Indonesia yang beragama Islam tidak bisa tidak memikirkan dan berjuang bagi kebaikan Indonesia. 

Penutup
Allah akbar Allah akbar wa lillahil hamd
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri yang dimuliakan Allah.
Kita harus menyadari bahwa hidup di alam semesta ini, sering ditamsilkan sebagai ujian, cobaan, atau proses pembelajaran. Dan tentunya kesetiaan kita terhadap kebenaran dan kebaikan akan dihargai oleh Allah, yang Maha Benar dan Maha Baik, dengan mendapatkan limpahan kasih sayang-Nya di dunia dan di hari kelak, insha'allah. Dan yang lebih penting dari itu adalah menjadikan Allah semoga satu-satunya tujuan, seraya hanya mengharap ridha-Nya, sebagaimana ungkapan yang sering diucapkan oleh para 'ulama', "Ilahi anta maqsudi, wa ridhaka matlubi" (Wahai Tuhanku, cuma Engkau satu-satunya tujuan, dan hanya ridha-Mu yang aku harapkan.

Di bagian akhir khutbah ini, saya  ingin mengajak para jama’ah dan terutama saya sendiri untuk merenungkan perkataan seorang ´ulama´abad ke-19: "Ada satu sifat yang jika melekat pada diri seorang anak manusia, berpotensi menurunkan derajat manusia tersebut di hadapan Sang Pencipta. Sifat atau perangai tersebut adalah merasa dirinya lebih berilmu, lebih utama, lebih bersih dan lebih suci daripada orang lain."

Di penghujung khutbah pertama ini, saya juga mengajak jama’ah dan terutama saya sendiri untuk merenungi salah satu hadith. Hadith tersebut adalah, "Ada tiga hal yang bisa membawa seseorang pada keselamatan, dan ada tiga hal pula yang bisa menjerumuskan seseorang pada kebinasaan. Adapun tiga hal yang menyelamatkan itu adalah takwa pada Allah baik dalam keadaan sepi maupun ramai, konsisten mengatakan kebenaran ketika dalam kondisi benci dan ridha, senantiasa sederhana dalam kondisi kaya maupun papa. Adapun tiga hal yang membinasakan itu adalah hawa nafsu yang diperturutkan, kikir yang diperturutkan, dan rasa bangga yang berlebihan pada dirinya".

Semoga di hari yang fitri ini, kita dibebaskan dari rasa suuzzann yang tidak pada tempatnya, dari dengki pada sesama mu’min, dari perasaan merasa paling suci, lebih suci dari saudara kita yang lain (Asfa Widiyanto).


Barakallah li wa lakum fi al-qur’an al-azim wa nafa‘ani wa iyyakum bimaa fihi minal aayati wa dzikril hakim. wa nafa‘ani wa iyyakum bimaa fihi minal aayati wa dzikril hakim.Aquulu qawli haadzaa wastaghfirullaha liwalakum walisaa iril muslimina min kulli dhanbi. Fastaghfiruhu innahu huwal ghofur-u-rrahim.

 

 

<< Home

0 Comments:

Post a Comment

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer