Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Thursday, April 8, 2010

Ada Apa dengan Sarung yang dipenuhi Rahmat Itu

By: Asfa Widiyanto

Melihat keterpanaan sementara teman terhadap sarung yang dipakai makhluk yang inshaallah dirahmati Allah,saya teringat pada kategori sosial semacam "abangan" dan "santri" yang menarik perhatian antropolog semacam Robert Jay, Clifford Geertz dan sebangsanya.Jika kita perhatikan, sarung, kerudung dan sebangsanya sering dipakai kaum santri. Maka kaum santri terutama yang tradisionalis sering diberi label "kaum sarungan".

Jika kita amati secara selayang pandang, banyak dari santri di pondok pesantren ngefans banget dengan pakaian unik ini. Ada juga sementara orang yang suka dengan pakaian ini karena kepraktisannya, so tidak perlu lagi pakaian bawah lagi, kilah mereka. Kata sementara pakar kesehatan, cara berpakaian seperti itu adalah relatif sehat, di satu sisi, walau mungkin relatif kurang "menyehatkan" bagi yang melihatnya, di sisi lain. Ada juga sementara orang, yang mengidentifikasikan sarung dengan sunatan karena itunya, maksudnya, karena itu sarung sangat nyaman dipakai orang yang sunatan. Di beberapa daerah, sarung acap kali dipakai orang menjelang dan setelah menunaikan ibadah kepada istrinya.

Di sudut lain, blangkon dan "kemben" sering diidentifikasikan dengan kaum "abangan". Di beberapa daerah, malah ada kelompok islam "sinkretis" yang dijuluki "islam blangkon".Dari sini bisa kita lihat bahwa pakaian sering dikait-kaitkan dengan simbol. (Ilmuwan sosial dan humaniora sering mencermati "symbol" dan "what beyond the simbol", atau kata pakar semiotika, "sign" dan "signified"). Dan pesan di balik simbol itu kadang cair (fluid). Pengamat dan aktivis politis mungkin lebih memperhatikan pesan dan implikasi apa yang hendak disampaikan seseorang dengan pakaiannya. Dalam beberapa kasus, simbol seringkali jadi isu sensitif dan juga sering diperebutkan dan jadi bahan pertikaian.

Ada sementara orang berfatwa, bahwa salah satu kerjaan ilmuwan sosial dan humaniora adalah membuat permasalahan yang rumit menjadi relatif sederhana, dan sebaliknya, menyulap persoalan yang kelihatannya sederhana menjadi relatif rumit. Cara berpikir ilmuwan sosial dan humaniora, ada yang mengibaratkan, seperti orang naik sepeda, kadang ngebut, ngerem, ngepot, jumping, naik trotoar, balapan dengan bis, jalan sangat lambat sampai nyaris seperti diam dan sebangsanya (tapi ada juga makhluk, yang kalau menyepeda sering kagetan dan terkenyut, terutama ketika melihat sesuatu yang mengezutkan seperti makhluk mempesona dan anjing (entah apa analogi dan benang merah antara anjing dan makhluk cakep), sampai sampai ada bunga di tepi jalan yang terpesona, tergoda dan tergerak untuk menirukan gerakannya di belakangnya).

 

 

<< Home

0 Comments:

Post a Comment

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer