Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Monday, July 7, 2014

“Pemimpin Muslim tapi zalim” vs “pemimpin kafir tapi adil”: pilih mana?



Dalam sebuah forum saya pernah melakukan mengemukakan pengandaian. Seandainya di depan kita hanya ada dua pilihan:
a. pemimpin Muslim tapi zalim
b. pemimpin kafir tapi adil.
Kira-kira kita pilih mana?

Terhadap pengandaian itu, ada seorang teman yang melihat bahwa pengandaian tersebut tidak sahih adanya, mengingat bahwa “pemimpin yang zalim itu pasti bukan muslim”  dan “pemimpin yang adil itu pasti bukan kafir”.  Terkait dengan tanggapan teman tersebut, saya menyampaikan perspektif saya, yang untuk lebih jelasnya saya bagi dalam empat point utama.

PERTAMA. Perspektif  seseorang bahwa “pemimpin yang zalim itu pasti bukan muslim” itu ada benarnya, jika kita melihat dalam kerangka idealnya (bahasa Jermannya  “das Sollen”) yang kadang agak berbeda dengan realitas yang ada (bahasa Jermanya  “das Sein”).

KEDUA.  Kategori “Muslim” itu sendiri merangkul berbagai level keber-Islam-an, yang bisa disederhanakan jadi dua: “Muslim minimalis” dan “Muslim maksimalis”. “Muslim ala kadarnya” dan “Muslim yang ideal”.  Kalau “Muslim maksimalis” (Muslim yang ideal) jelas tidak akan melakukan kezaliman karena dia sadar bahwa keadilan itu adalah sebuah karakter yang paling dekat dengan takwa (ayat: ‘idilu huwa aqrabu li al-taqwa).

KETIGA. Para pemikir Islam, ada yang berusaha membedakan antara “Islam” dan “Muslim”, antara “pemahaman/penafsiran Islam” dan “ajaran Islam”. Muhammad Abduh (1849-1905) misalnya menyatakan, “Saya menemukan Islam di Eropa namun tidak menemukan Muslimin di sana”.  Pernyataan Abduh yang lain juga menarik disimak, “Islam itu kadang terbelenggu oleh (pemahaman dan praktek) umat Islam  (al-Islam mahjubun bi al-muslimin).

KEEMPAT. Ulama-ulama abad pertengahan Islam sudah ada yang membahas tentang persoalan “pemimpin Muslim tapi zalim” dan “pemimpin kafir tapi adil”. Ibn Taymiyya (1263-1328) dan Ibn Khaldun (1332-1406)  dianggap sebagai contoh dari ulama yang sudah memperbincangkan persoalan tersebut.  Ibn Taymiyya, misalnya menyatakan  Allah mendukung pemerintahan yang adil meskipun itu kafir, dan sebaliknya  tidak mendukung pemerintah yang zalim bahkan jika itu adalah Muslim. Keadilan  sekalipun  dikombinasikan dengan kekafiran dapat menyokong keberlangsungan pemerintahan dan kemanusiaan, namun ketidakadilan meskipun ia datang dengan Islam tidak akan dapat menjaga keberlangsungan pemerintahan dan kemanusiaan“.

 

 

<< Home

0 Comments:

Post a Comment

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer