Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Monday, August 9, 2010

Menyambut Bulan Suci Ramadhan dengan Berupaya „Mempuasakan“ Ego

By: Asfa Widiyanto

Sengaja saya awali tulisan ini, dengan „uneg-uneg” seorang penjual terasi: „Saya sedang menyambut bulan suci Ramadhan dengan sedikit demi sedikit berupaya mengikis keangkuhan saya, terutama perasaan bahwa saya lebih suci dari orang lain“.
Koleganya, penjual telur asin pun menambahi: „Memang, salah satu penyakit ahli ibadah ya seperti, terjebak pada perasaan yang tidak semestinya; merasa diri kita lebih saleh, lebih suci, lebih berhak masuk surga dari orang lain. Padahal Umar bin Khattab r.a. (sahabat Nabi saw. yang dijanjikan masuk surga) menyatakan: `Kalau saja semua orang masuk surga, kecuali satu. Aku khawatir orang itu adalah aku’. Pernyataan ini tentu saja menunjukkan kerendahhatian beliau“.
Kolega lain, di ujung sana, menimpali: „Saya jadi ingat petuah seorang ulama abad ke-18 yang menyatakan: `Salah satu hal yang bisa merendahkan posisi seorang hamba di hadapan Allah adalah merasa bahwa dirinya adalah lebih suci lebih saleh dari orang lain’.“

Ungkapan-ungkapan semacam ini, tidak berarti menghalang-halangi keinginan saudara-saudara yang ingin berlomba-lomba untuk beribadah di bulan Ramadhan ini (yang memang bulan rahmah dan bulan ibadah). Namun hendaknya, semangat kita yang menggebu-gebu untuk meningkatkan kuantitas ibadah itu dibarengi dengan upaya kita untuk memperbaiki kualitas, spirit dan ruh dari ibadah kita. Yakni dengan menyiapkan hati kita untuk tetap rendah hati di hadapan Yang Maha Besar dan Maha Kuasa. Sebaiknya menyadari bahwa ibadah kita tentu tidak ada apa-apanya dibanding rahmat dan karunia-Nya. Dan juga tidak selayaknya apabila ibadah kita itu malah menjadikan diri kita merasa tinggi hati, merasa lebih suci dari orang lain. Apalagi kalau kita hanya lebih memperhatikan penilaian khalayak, misalnya: kita beribadah hanya untuk dianggap bersih, dianggap suci oleh orang lain, yang dengan image semacam itu kemudian kita bisa menggunakan untuk tujuan-tujuan politis, yang dari satu sisi adalah bernilai „duniawi“.

Senada dengan hal itu, seorang penjual rujak di pinggir jalan juga urun rembug: „Alangkah baiknya bila dalam melaksanakan ibadah puasa ramadhan, juga berlatih untuk ’mempuasakan’ ego kita, ’mempuasakan’ keangkuhan kita. Sehingga bulan ramadhan bisa mengantarkan kita pada kualitas religiusitas, spiritualitas dan kemanusiaan yang lebih baik“.

Orang yang bisa „mempuasakan“ egonya, tentu akan bersikap santun terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dan keyakinan. Jika dia berseberangan pendapat dengan Muslim lain, tentu dia tidak akan gegabah mengeluarkan pernyataan yang kurang selayaknya, misalnya: „Kamu itu kalau berpendapat seperti itu, berarti sudah melenceng dari Islam, berarti halal darahmu!!!“.
Justru sebaliknya, orang yang sudah „mempuasakan“ ego-nya akan dengan lapang dada, menerima perbedaan pendapat di kalangan umat, seraya menyadari bahwa semuanya berupaya untuk menuju, mendekati „Yang Maha Benar“.

Walllahu a’lam bi al-sawab

Regina-Pacis-Weg, medio August 2010

 

 

<< Home

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer