Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Thursday, April 8, 2010

"Manusia sebagai Makhluk yang Terbatas (antara lain oleh Ruang dan Waktu)..."

By: Asfa Widiyanto

Salah satu pelajaran yang penulis terima, dan penulis merasa berat mempraktekkannya adalah tentang kesiapan jiwa. Tingkat kesiapan dan kematangan jiwa kita, antara lain, tercermin ketika melihat dan berpapasan dengan makhluk yang kebetulan kurang berkenan di hati kita, misalnya ada orang yang menurut penglihatan berperangai kurang baik, ada orang tertimpa sesuatu yang yang menurut penglihatan kita kurang berkenan atau ada orang yang mengambil keputusan yang berpotensi mengundang cibiran khalayak ramai.

Pada level pertama, ketika kita melihat sesuatu yang kurang berkenan tadi, kita dianjurkan untuk membaca "nau´dhu billah min dhalik" (kita berlindung pada Allah dari kondisi seperti itu). Pada level kedua kita dianjurkan untuk membaca "baraka Allah fih in kana fih khayr" (semoga Allah memberkatinya jika memang ada kebaikan padanya). Pada level ketiga, kita dianjurkan mengucapkan "baraka Allah fih" (semoga Allah memberkatinya). Ungkapan terakhir ini, terkandung implikasi harapan yang tulus bahwa makhluk yang tadi dilihat itu diberkati Allah. Kalaupun ada yang kurang baik pada makhluk itu, dia mendoakan agar makhluk tersebut diberkahi Allah sehingga tertuntun ke arah kebaikan. Dalam tataran ideal, orang yang mengucapkan frase terakhir ini berusaha untuk selalu berpikir positif pada makhluk lain, dan tidak menilai makhluk lain semata dari penampilan lahiriyahnya.

Ini mengingatkan penulis pada cerita yang kadang dikutip para ´ulama´ tentang seseorang yang ditakdirkan menjadi wali sejak di buaian ibunya. Dikisahkan, suatu hari, wali tersebut diteteki ibunya. Tiba-tiba lewat di depan rumah, seorang lelaki berkuda, yang gagah berani, dan berpakaian mempesona. Ibu tersebut terkesan dengan orang yang baru saja lewat, seraya berujar, "Ya Allah jadikanlah anakku seperti orang itu". Tapi anak itu bereaksi negatif, dengan sedikit menggigit puting ibunya sehingga sang ibu terperanjat. Selang beberapa saat, ada seorang wanita yang diseret-seret beberapa orang, yang meneriakkan yel-yel (layaknya cheer leaders), "kamu pezina, kamu pezina!". Melihat kejadian itu sang ibu berujar, "Na´udhu billah, semoga anakku nanti tidak jadi seperti dia". Tapi anak itu bereaksi negatif, dengan sekali lagi sedikit menggigit puting ibunya. Sang ibu itu pun heran. Sang anak kemudian diberi anugerah Allah untuk menjelaskan kepada ibunya. Si anak pun lantas berujar, "Wahai Ibu, orang laki-laki yang ibu lihat tadi, adalah orang yang sangat ingkar pada Allah. Sedangkan perempuan yang dituduh berzina itu adalah orang yang bersih hatinya dan pasrah secara total pada Allah. Dia tidak mengharapkan bantuan selain Allah ketika disiksa makhluk seraya berucap, "hasbiya Allah" (cukuplah Allah (saja yang menolongku)).

Ini juga mengingatkan penulis pada kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidr as, yang diangkat Al-Qur´an. Kisah ini antara lain memberikan pesan pada umat manusia untuk tidak terburu-buru untuk menghakimi sesuatu berdasarkan penampakan lahiriyahnya semata. Para ´ulama sering mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa menghukumi seseorang sebagai kafir, karena kalau ternyata si tertuduh tadi tidak seperti yang dituduhkan, maka tuduhan itu berpotensi untuk kembali pada kita sendiri.

Sementara ´ulama´ menggarisbawahi pentingnya seorang anak manusia untuk memiliki seorang guru, apa pun namanya (ustadh, kyai, sheikh, murabbi atau yang sebangsanya), yang bisa mengajarkan manusia tersebut untuk senantiasa bersikap rendah hati pada kebenaran, tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan pada hal-hal yang belum semestinya disimpulkan (dalam hal ini, sebagai intermezzo, makhluk tersebut bisa menarik-narik kolor dulu, misalnya, daripada bete), menjaga hatinya dari apriopri dan berprasangka buruk pada makhluk lain (apa lagi kalau sampai melakukan pembunuhan karakter)) serta menjaga hatinya dari rasa bangga yang terlalu berlebihan.

Di penghujung tulisan ini, penulis mengajak pembaca dan terutama penulis sendiri untuk merenungi salah satu hadith. Hadith tersebut adalah, "Ada tiga hal yang bisa membawa seseorang pada keselamatan, dan ada tiga hal pula yang bisa menjerumuskan seseorang pada kebinasaan. Adapun tiga hal yang menyelamatkan itu adalah takwa pada Allah baik dalam keadaan sepi maupun ramai, konsisten mengatakan kebenaran ketika dalam kondisi benci dan ridha, senantiasa sederhana dalam kondisi kaya maupun papa. Adapun tiga hal yang membinasakan itu adalah hawa nafsu yang diperturutkan, kikir yang diperturutkan, dan rasa bangga yang berlebihan pada dirinya".

 

 

<< Home

Ada Apa dengan Sarung yang dipenuhi Rahmat Itu

By: Asfa Widiyanto

Melihat keterpanaan sementara teman terhadap sarung yang dipakai makhluk yang inshaallah dirahmati Allah,saya teringat pada kategori sosial semacam "abangan" dan "santri" yang menarik perhatian antropolog semacam Robert Jay, Clifford Geertz dan sebangsanya.Jika kita perhatikan, sarung, kerudung dan sebangsanya sering dipakai kaum santri. Maka kaum santri terutama yang tradisionalis sering diberi label "kaum sarungan".

Jika kita amati secara selayang pandang, banyak dari santri di pondok pesantren ngefans banget dengan pakaian unik ini. Ada juga sementara orang yang suka dengan pakaian ini karena kepraktisannya, so tidak perlu lagi pakaian bawah lagi, kilah mereka. Kata sementara pakar kesehatan, cara berpakaian seperti itu adalah relatif sehat, di satu sisi, walau mungkin relatif kurang "menyehatkan" bagi yang melihatnya, di sisi lain. Ada juga sementara orang, yang mengidentifikasikan sarung dengan sunatan karena itunya, maksudnya, karena itu sarung sangat nyaman dipakai orang yang sunatan. Di beberapa daerah, sarung acap kali dipakai orang menjelang dan setelah menunaikan ibadah kepada istrinya.

Di sudut lain, blangkon dan "kemben" sering diidentifikasikan dengan kaum "abangan". Di beberapa daerah, malah ada kelompok islam "sinkretis" yang dijuluki "islam blangkon".Dari sini bisa kita lihat bahwa pakaian sering dikait-kaitkan dengan simbol. (Ilmuwan sosial dan humaniora sering mencermati "symbol" dan "what beyond the simbol", atau kata pakar semiotika, "sign" dan "signified"). Dan pesan di balik simbol itu kadang cair (fluid). Pengamat dan aktivis politis mungkin lebih memperhatikan pesan dan implikasi apa yang hendak disampaikan seseorang dengan pakaiannya. Dalam beberapa kasus, simbol seringkali jadi isu sensitif dan juga sering diperebutkan dan jadi bahan pertikaian.

Ada sementara orang berfatwa, bahwa salah satu kerjaan ilmuwan sosial dan humaniora adalah membuat permasalahan yang rumit menjadi relatif sederhana, dan sebaliknya, menyulap persoalan yang kelihatannya sederhana menjadi relatif rumit. Cara berpikir ilmuwan sosial dan humaniora, ada yang mengibaratkan, seperti orang naik sepeda, kadang ngebut, ngerem, ngepot, jumping, naik trotoar, balapan dengan bis, jalan sangat lambat sampai nyaris seperti diam dan sebangsanya (tapi ada juga makhluk, yang kalau menyepeda sering kagetan dan terkenyut, terutama ketika melihat sesuatu yang mengezutkan seperti makhluk mempesona dan anjing (entah apa analogi dan benang merah antara anjing dan makhluk cakep), sampai sampai ada bunga di tepi jalan yang terpesona, tergoda dan tergerak untuk menirukan gerakannya di belakangnya).

 

 

<< Home

"Tidak ada yang Berubah Kecuali Perubahan itu Sendiri"

By: Asfa Widiyanto

Dikisahkan oleh sohibul hikayat, Heraklitos, seorang filosof Yunani klasik, di siang hari bolong-bolong itu sedang merenung di sungai (ini kelihatannya si Heraklitos bukan cowok matre, kalau ya, kemungkinan besar dia berpikir "kelaut aje") (kebiasaan pergi ke sungai juga kadang dilakukan sementara makhluk, walau dengan motivasi yang berlainan, ada yang tertarik untuk melihat keindahan yang mempesona, ada pula yang bertujuan mengusir suntuk kala kangen kampung halaman).

Kembali pada si Heraklitos yang tidak matre tadi. Si Heraklitos mengamati aliran sungai, sambil mencoba memasukkan batu ke dalam sungai. Dia berpikir bahwa batu yang dimasukkannya ke dalam sungai bisa dikatakan "berubah" karena batu itu pada hakekatnya berbeda dengan batu beberapa menit sebelumnya. Dia melihat bahwa batu itu dilingkupi tempat (space) dan waktu (tempo) yang berubah. Tidak mungkin batu itu sama pada setiap waktu dan tempat, karena waktu dan tempat itu sendiri berubah, pikirnya. Dari pengamatan itu kemudian dia menarik-narik kesimpulan (daripada menarik-narik kolor kan kelihatan culun) bahwasanya "pada dasarnya semua yang ada di alam semesta itu berubah" dan "tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Mungkin kalau si Heraklitos ini ditakdirkan jadi pemimpin partai, dia akan mengusung tema perubahan ini sebagai agenda utama partainya. Atau jangan-jangan sebagian pemimpin partai terinspirasi oleh ide si Heraklitos. Tak tahu lah-)).

Sampai di sini semoga tidak ada yang bingung. Kalaupun bingung, itu adalah wajar, dan itu merupakan fase dalam mencerap pengetahuan dan mendekatkan diri pada kebenaran. Al-Ghazali sendiri, yang hidup di abad 12, menyatakan bahwa "keragu-raguan adalah awal dari pengetahuan". Sementara filosof kemudian mengemukakan, "tidak ada yang tidak diragukan kecuali keraguan itu sendiri" (nah lo...). Ungkapan ini, seperti disinyalir sementara pakar, mengilhami munculnya "scepticism" dan "empiricism" (yang antara lain dimotori oleh Francis Bacon, filosof Inggris abad 17), yang kemudian pada gilirannya memicu perkembangan ilmu pengetahuan modern.

 

 

<< Home

Sekilas tentang Proses dan Produk Berpikir

By: Asfa Widiyanto

Kata "ijtihad" atau "istinbat (al-ahkam al-shar'iyya)" kadang sempat mampir di telinga kita. Kata ini biasanya sering diterjemahkan "legal reasoning", walau sebenarnya secara harfiyya kata ijtihad atawa istinbat itu merujuk pada proses berpikir secara umum yang salah satu tujuannya adalah menemukan kesimpulan atawa penyelesaian dari masalah yang ada.

Dalam hal ijtihad, sering diungkapkan bahwa "idha ijtahada al-hakim fa asaba fa lahu ajrani wa idha akhta'a fa lahu ajrun wahid" (jika seorang pelaku ijtihad bisa menyentuh kebenaran maka dia mendapat dua pahala, jika dia belum menggapai kebenaran maka dia memperoleh satu pahala). Ungkapan ini sering dipahami sebagai apreasiasi terhadap makhluk yang mau menggunakan daya pikirnya, tentunya dengan berupaya menaati alur berpikir yang sahih. Ungkapan ini juga bisa dipahami sebagai penandasan akan keterbatasan manusia dalam mencerap kenyataan dan mendekatkan diri kepada kebenaran. Dalam hal ini kerendahhatian pelaku ijtihad sangat diharapkan. Jangan sampai misalnya, pelaku ijtihad "over-convident" dan "kelewat optimis" bahwa produk pemikirannya layak menyandang status benar karena itu pantas mendapat dua pahala dari Tuhan, tanpa memikirkan kemungkinan lain, bahwa pelaku lain juga punya kesempatan yang sama, misalnya.

Salam dari seorang manusia,
(sengaja saya tidak memakai frase yang sering dipakai para ulama´ semacam, “humble seeker of the Truth”, “al-salik fi tariq al-Haqq”, “al-faqir ila al-Haqq”, kerana belum maqamnya bzw. belum pada tempatnya. Kata sementara orang, kalau kita kurang hati-hati menggunakan frase tersebut, alih-alih berfungsi untuk menekankan kerendahan hati kita, malah sebaliknya hanya sebagai perisai untuk menyembunyikan arogansi bzw. kepongahan kita yang cenderung “meletup-letup” (secara perilaku kita lebih mengesankan sebagai “pemborong kebenaran" atau yang relatif lebih parah adalah kalau sampai mengklaim sebagai "pemegang hak paten atas kebenaran")).

 

 

<< Home

Adab kepada Sang Pencipta

Sekedar meneruskan ucapan seorang 'ulama' yakni Sheikh Nazim al-Haqqani, dalam "Mercy Oceans' Hidden Treasures."
------------------------------------
"If a person is expecting any reward for his devotions, it means that he sees his own actions as being good enough and worthy of reward from Allah. Whosoever thinks that his actions or worship are suitable for the Divine Presence has no knowledge of absolute truth (haqiqa) and its secret knowledge. therefore you may see them worshipping enthusiastically, pushed on to ever more devotions just because they are thinking , 'These are good actions and I shall reap my reward for them', but it never occurs to them that those actions aren´t suitable for the Divine Presence.

You must be careful not to misunderstand me, nor to turn the intended meaning upside down; no doubt as a result of what we are saying here, some people will accuse us of discouraging from worship –far from it, Allah is my witness! We are never discouraging anyone from worship, we are only teaching people the highest good manners (adab) with their Lord, and that adab is, not to be contended with the amount of your worship while you effectively destroy its merits with your pride and with your thinking that it will be the first class in the Divine Presence; it is better to present your worship to your Lord saying, 'Oh my Lord, I am ashamed to send this before your Divine Presence. Forgive me my shortcomings and inability to worship or thank You as You deserve to be worshipped and thanked'.

I heard of one great saint who, every time he came to the mosque to pray with the congregation, would wait until everyone had entered, and only then enter the mosque himself, standing next to the shoe-rack and praying there. Then, as soon as the prayer was finished, he would run out of the mosque saying, 'Praised be the Lord, for He has covered for me the badness of my condition so that no one could detect it. If those people were to know what I am really like inside, they would chase me out of the mosque, throwing their shoes at me and beating me with them'."

 

 

<< Home

Manusia sebagai Hewan yang Berpikir

By: Asfa Widiyanto

Al-insan hayawan natiq", begitu ujar sementara filosof dan ahli logika. Ungkapan ini sering diartikan, "manusia adalah ´hewan´ yang berpikir". Dalam bahasa Arab, kata "natiq" berakar dari kata "nutq", yang secara literal adalah "kemampuan berbicara" tapi sebenarnya juga merujuk pada "kemampuan berpikir dan mengartikulasikan buah pikiran antara lain dengan berbicara dan sebangsanya".

Dalam kerangka ini, "berpikir" adalah salah satu atribut dan karakter yang melekat pada makhluk yang bernama manusia. Adalah berbahagia, orang yang bisa mendayagunakan secara optimal kemampuan yang dianugerahkan Tuhan ini untuk kemaslahatan umat manusia. Dan berbahagia pula orang yang memiliki keleluasaan berpikir tanpa harus dihujani pelbagai macam "ultimatum" yang mengkondisikan dia untuk "memodifikasi" dan "mengkamuflasekan" buah pemikirannya (karena tidak mau terlalu berseberangan dengan "kepentingan" makhluk yang kebetulan diamanahi dan dianugerahi Tuhan dengan secuil kekuasaan-Nya, misalnya).

 

 

<< Home

Seuntai Doa untuk Palestina dan Israel

By: Asfa Widiyanto

Turut mengamini doa saudara tercinta saya. Amin.
Seraya mengimbuhkan seuntai doa lain, “Ya Allah semoga Engkau menurunkan rahmat dan kasih sayangMu pada saudara-saudara kita di Palestina, semoga Engkau limpahkan pada mereka ketabahan dan kekuatan untuk membebaskan diri sehingga bisa hidup sebagaimana layaknya manusia. Ya Allah semoga Engkau turunkan juga rahmat dan kasih sayangMu pada saudara-saudara kita di Israel sehingga mereka mau menunjukkan dan mencurahkan kasih sayangnya yang tulus pada saudara-saudaranya di Palestina, seraya mengingat bahwasanya, “wa rahmati wasi´at kulla shay´” (Rahmat-Ku menjangkau dan meliputi segala sesuatu) (By the way, doa yang relatif utopis...tapi bukan berarti sama sekali mustahil-)).

Allah Rahman! Allah Rahim! Allah Ra´uf! Allah Ghafur!Terus terang dalam beberapa kasus saya lebih prefer mengumandangkan kata-kata tersebut, walau belum begitu pantas. Tapi lebih kurang pantas lagi kalo lidah saya meneriakkan secara heroik „Allah Akbar“, sementara salah satu implikasi dari kata itu saya lupakan yakni „ana asghar al-makhluqat“ (saya makhluk yang paling rendah) bzw. "ana awhan al-mawjudat" bzw. „ana ahqar al-khalaiq, qabil li al-nuqsan wa al-khataya“ (saya makhluk paling hina dina yang tidak luput dari kekurangan dan kealpaan).

Saya akan terima dengan senang hati, kalau ada yang mau meluangkan waktu memberikan tanggapan atas keterangan saya (al-ta´liqa ´ala al-ta´liqa), atau kemudian berupaya "mendekonstruksi" keterangan saya (tahafut al-ta´liqa). Dan proses dialektika seperti itu adalah wajar, kerana manusia penuh dengan keterbatasan dalam mencerap sebuah fenomena, seraya mengingat bahwa diri kita sangat rendah yang tak luput dari dosa dan kesalahan dan yang sebangsanya.

Waktu ngaji dulu, ketika masih kecil (sekarang dah tua, minimal "bermutu" (bermuka tua:))), sayup sayup masih terukir di benak saya, "ukhuwwah insaniyyah" atawa "ukhuwwah bashariyyah," yakni kita harus menghormati orang lain simply kerana mereka kebetulan ditakdirkan Allah untuk dilahirkan sebagai makhluk yang berjudul manusia. Walaupun jelas, salah satu yg harus lebih diutamakan seorang muslim adalah "ukhuwwah islamiyyah".

Kadang terlintas di benak saya, tidak ada ruginya bagi kita (dan inshaallah tidak berkurang pahala amal kebajikan kita) bila orang yg kebetulan saat ini berseberangan dengan kita, kemudian diluluhkan hatinya, untuk kemudian menunjukkan kasih sayangnya kepada kita dan mau menekankan harkat martabat manusia (die Würde des Menschen) tanpa kecuali seraya mengingat bahwasanya "wa rahmati wasi´at kulla shay´" (Rahmat-Ku menjangkau dan meliputi segala sesuatu) (lagi-lagi harapan seperti ini, bisa dipahami sementara orang sebagai "utopis").

 

 

<< Home

Celotehan tentang Filsuf dan Sebangsanya

By: Asfa Widiyanto

Filsuf adalah semacam label atau ungkapan yang dialamatkan pada orang yang mau berpikir secara mendalam (radikal) terhadap „yang ada“ (being) dan yang „mungkin ada“ (possible being) (kata Immanuel Kant, „fenomena“ (phenomenon) dan „nomena“ (nomenon)).
Sekedar flashback, dalam sejarahnya, ambil contoh pada zaman Yunani beberapa abad sebelum masehi, para filsuf sangat setia kepada apa yang diyakininya sebagai output cara berpikir yang sehat dan sahih. Dikisahkan, Socrates sampai „memilih“ meminum racun ketimbang harus mencabut buah pemikirannya yang tertelurkan dari alur berpikir yang dianggap sahih, secara dia melihat bahwa penguasa yang mengancamnya tidak bisa menawarkan argumen yang lebih memadai. Dalam setting intelektual dan sosio-politis semacam itulah kemudian sekumpulan filsuf memunculkan wacana “seyogyanya kepala negara adalah filsuf“.

Pendapat ini dinilai sementara orang adalah naif, secara menafikan kenyataan bahwa orang idealis pun kalau bersinggungan dengan kekuasaan akan cenderung tiran. Tapi gerombolan filsuf pun punya argumentasi sendiri, antara lain, setidaknya makhluk idealis yang setia pada cara berpikir yang sahih dibutuhkan dalam pemerintahan, dan orang seperti ini kadar kemungkinannya dan „reception“-nya pada tirani, relatif lebih kecil daripada orang yang kurang idealis.Salah satu buah pemikiran yang terlahirkan pada masa Yunani adalah „demokrasi“, „republik“ dan „akademi“ (yang kemudian diturunkan menjadi "Akademi Fantasi Indonesia"--)).Dalam "kaca mata" dan „contact lens“ sementara filsuf (emang filsuf ada yang memakai contact lens juga, kemayu), „tidak memilih“ pada hakekatnya adalah „memilih“, „tanpa pilihan“ pada dasarnya adalah „pilihan“, "tanpa syarat" itu adalah "syarat", "tanpa embel-embel" itu adalah juga "embel-embel" dan seterusnya.

Dari satu sisi, „maqam“ para filsuf di atas jelas lain dengan „maqam“ orang yang diultimatum saja akhirnya mencabut emailnya dari peredaran atawa menghapus foto dari beberapa obyek yang menarik seperti seonggok makhluk tidur di kursi dan sebangsanya. Padahal itu dari satu sisi maha karya atawa karya seni yg bernilai tinggi-)) (Di haribaan "makhluk nan terhormat" ini hak berbicara dan berpendapatnya (redefreiheit bzw. meinungsfreiheit) seakan tumpul-))).

 

 

<< Home

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer