Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Thursday, July 17, 2014

"Syiah Prabowo" dan "Syiah Jokowi"

Akhir-akhir ini di Indonesia muncul dua macam "Syi'ah": (a) "Syi'ah Prabowo", (b) "Syi'ah Jokowi".  Dua macam "Syi'ah" tersebut berkembang terutama menjjelang dan saat pemilihan presiden 2014. Kita jangan heran dulu, kenapa kok ada dua jenis "Syi'ah", dan apakah dua macam "Syi'ah" tersebut ada hubungannya dengan Syi'ah yang berkembang pesat di Iran? Jangan-jangan kedua kubu dalam pilpres tersebut disusupi ideologi Syi'ah?
Kesan dan pertanyaan semacam itu akan bermunculan dan bertaburan di benak kita, jika kita tidak mencermati penggunaan kata "syi'ah" dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologis) syi'ah itu berarti pendukung, simpatisan dan sebangsanya. Jadi yang saya sampaikan di atas, secara bahasa tidak ada salahnya. "Syi'ah Prabowo" berarti pendukung Prabowo, calon presiden nomor urut 1. Sedangkan "Syi'ah Jokowi" berarti pendukung Jokowi, Joko Widodo, calon presiden nomor urut 2.

Kalau kita melihat sejarah Islam, Syi'ah (yang sekarang berkembang pesat di Iran) itu bermula dari konflik politik di era al-khulafa' al-rashidun (empat khalifah utama sepeninggal Rasulullah saw). Dalam suasana semacam itu muncul sekelompok orang yang dinamakan "Syi'ah Ali" (artinya: pendukung Ali ibn Abi Talib). Mereka mendukung Ali ibn Abi Talib sebagai khalifah yang legitimate, terutama sebagai counter terhadap claim kekhalifahan dari Muawiyah ibn Abi Sufyan.  Kelompok inilah yang akhirnya berkembang secara solid, dan berumuskan ideologinya sendiri, yang akhirnya kita kenal sebagai Aliran Sy'ah. Aliran kalam ini sekarang banyak dianut di Iran, Syiria, Irak dan sebangsanya. Dari sini jelas bahwa aliran kalam (aliran teologi) dalam Islam tidak bisa terpisahkan dari permasalahan politik.

Sekarang kita kembali ke "Syi'ah Prabowo"  dan "Syi'ah Jokowi" di atas. Saya lihat kecenderungan di masyarakat bahwa sebagian pendukung Prabowo ("Syi'ah Prabowo") dan sebagian pendukung Jokowi ("Syi'ah Jokowi")  fanatis membela capresnya masing-masing. Mereka merasa terluka kalau capresnya dihina dan sebagainya. Dan itu dilakukan baik pendukung yang terpelajar maupun yang awam.
Saya berharap, semoga setelah pilpres usai, semua bisa kembali ke posisi netral, minimal tidak berlebihan (bahasa Arabnya: ghuluw). Sehingga kehidupan berbangsa menjadi kondusif untuk berkarya, bangsa terjaga kerukunannya.

 

 

<< Home

Wednesday, July 9, 2014

Pilpres Menjadi Opium Kaum Terpelajar

Pilpres sudah menjadi candu (opium) yang menjadikan sebagian kaum terpelajar kehilangan daya kritisnya. Sebagian mereka dengan begitu saja menerima informasi yang beredar di dunia maya, tanpa melihatnya secara kritis, dan bahkan sebagian mereka ikut menyebarkan berita-berita yang kurang bisa dipercaya kebenarannya. Semoga pilpres ini segera berlalu...dengan membawa hasil terbaik dan maslahat...dan bangsa terjaga kerukunannya. 

Ayat  "sami'na wa ata'na" (kami dengar dan kami taat) sering digunakan sebagian orang untuk melegitimasi perlunya mengamini dan menaati informasi yang diterima dari pemimpin ormas Islam atau tokoh agama. Menurut hemat saya, ayat "sami'na wa ata'na" (kami dengar dan kami taat) itu terutama digunakan dalam konteks mendengar dan menaati perintah Allah dan rasul-Nya, Terhadap perintah Allah dan rasul-Nya kita dilarang mengatakan "sami'na wa asayna" (kami dengar dan kami abaikan).

Namun dalam hal yang lain, terutama dalam menyimak pembicaraan orang, wacana yang berkembang di masyarakat, sebaiknya kita berpegang pada isi doa berikut:Allahuma ij'alni min al-ladzina yastami'una al-qaula fa-yattabi'una ahsanah (Ya Allah jadikan saya dalam golongan orang yang mendengarkan pembicaraan/wacana, dan mengikuti yang terbaik). Salah satu kelemahan kita adalah kita seringkali menceramahi orang, tapi kita kurang siap mendengarkan orang lain. Mendengarkan orang berbeda dengan kita, karena kita menganggap bahwa kebenaran sudah berpihak pada kita, atau karena yang berbicara adalah orang yang lebih muda, kelihatan kurang berpengalaman, penampilan luarnya kurang bagus dan sebagainya,

Ilmu pengetahuan itu bisa berkembang salah satunya dengan dialog, dengan mengembangkan argumen, dan menyimak argumen orang lain. Itulah ruang gerak dan aktivitas utama akademisi, baik "developing young scholars" maupun "experienced scholars". Jadi "experienced scholars" pun tetap harus mengembangkan argumen mereka, tidak berhenti belajar. 
Dan dalam menyikapi pemberitaan di media massa dan dunia masa, kaum terpelajar  perlu mencari dan memilih sumber yang dapat dipercaya. Dan dalam mencerna berita, mereka perlu membedakan antara "realitas media" dan "realitas sebenarnya"', karena memang tugas mass-media itu untuk "constructing reality"

.Ketika sebagian masyarakat menyatakan, "milih pemimpin itu dengan lihat "masa depan"-nya, visi misinya seperti apa, bukan dengan melihat "masa lalu"-nya. Kaum terpelajar sebenarnya punya kewajiban moral untuk menjelaskan bahwa untuk memilih pemimpin, track record (bahasa awamnya, "masa lalu") itu penting, untuk melihat pengalaman dan riwayat profesionalnya, apakah ia mempunyai track record yang memadai untuk mewujudkan visi misi (yang biasanya sangat ideal) tersebut. "Masa lalu" itu istilah awam, istilah public administration dan political science-nya adalah track record (rekam jejak). Untuk daftar CPNS aja perlu mencantumkan daftar riwayat hidup, misalnya.

 

 

<< Home

Politisasi agama dan masa depan demokrasi di Indonesia: menilik pilpres 2014

Secara politik Prabowo lebih diuntungkan karena diusung oleh partai Islam, walaupun beliau adalah nasionalis-sekuler. Di sisi lain, Jokowi kurang seberuntung Prabowo, karena partai yang mengusung beliau cenderung nasionalis. Sehingga terkesan Jokowi kurang memperjuangkan kepentingan Islam. 


Isu-isu SARA memang sering dieksploitasi dalam kampanye, karena itu hal yang mudah dicerna orang awam dan hemat biaya. Orang mudah terprovokasi bahwa jokowi itu kafir, keturunan cina (atau cina yang berpura-puras sebagai Jawa) dan musuh islam. Di sisi lain, adik dan ibu Prabowo juga dikabarkan kristen, dan anak Prabowo dikabarkan gay. Walau ini, menurut pengamatan saya kurang dieksploitasi di pilpres.

Padahal pemilihan presiden itu lebih ke substansi kepemimpinannya, apakah sang calon cenderung demokratis atau otoriter, apakah ia punya track record yang memadai untuk mewujudkan visi misi (yang biasanya sangat ideal) tersebut.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa ada diskursus menarik dalam tradisi Islam mengenai kualitas kepemimpinan. Ulama-ulama abad 13-14 M pernah memperbincangkan sebuah pengandaian: yakni seandainya di hadapan kita hanya ada dua pilihan (pemimpin Muslim tapi zalim atau pemimpin kafir tapi adil), kita harus memilih yang mana? Terhadap pilihan sulit ini, sebagian ulama mengambil pilihan progresif, yakni pemimpin kafir tapi adil. Di antara argumen yang dikemukakan adalah bahwa madharat pemimpin Muslim tapi zalim itu lebih banyak dibanding pemimpin kafir tapi adil. Adil (profesional, transparan, non-diskriminatif) dianggap sebagai kualitas yang harus melekat di pribadi seorang pemimpin.

Walhasil, kita juga harus melihat bahwa agama (termasuk di dalamnya Islam) mengajarkan cara berpolitik yang santun, tidak menebarkan fitnah, dan menghalalkan segala cara demi mencapai kekuasaan. Dan semoga saja pilpres 2014 semakin memberikan kita kedewasaan dalam berpolitik, yang tentunya akan meningkatkan kualitas demokrasi kita di masa mendatang, demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah payah terutama sejak reformasi

 

 

<< Home

Monday, July 7, 2014

“Pemimpin Muslim tapi zalim” vs “pemimpin kafir tapi adil”: pilih mana?



Dalam sebuah forum saya pernah melakukan mengemukakan pengandaian. Seandainya di depan kita hanya ada dua pilihan:
a. pemimpin Muslim tapi zalim
b. pemimpin kafir tapi adil.
Kira-kira kita pilih mana?

Terhadap pengandaian itu, ada seorang teman yang melihat bahwa pengandaian tersebut tidak sahih adanya, mengingat bahwa “pemimpin yang zalim itu pasti bukan muslim”  dan “pemimpin yang adil itu pasti bukan kafir”.  Terkait dengan tanggapan teman tersebut, saya menyampaikan perspektif saya, yang untuk lebih jelasnya saya bagi dalam empat point utama.

PERTAMA. Perspektif  seseorang bahwa “pemimpin yang zalim itu pasti bukan muslim” itu ada benarnya, jika kita melihat dalam kerangka idealnya (bahasa Jermannya  “das Sollen”) yang kadang agak berbeda dengan realitas yang ada (bahasa Jermanya  “das Sein”).

KEDUA.  Kategori “Muslim” itu sendiri merangkul berbagai level keber-Islam-an, yang bisa disederhanakan jadi dua: “Muslim minimalis” dan “Muslim maksimalis”. “Muslim ala kadarnya” dan “Muslim yang ideal”.  Kalau “Muslim maksimalis” (Muslim yang ideal) jelas tidak akan melakukan kezaliman karena dia sadar bahwa keadilan itu adalah sebuah karakter yang paling dekat dengan takwa (ayat: ‘idilu huwa aqrabu li al-taqwa).

KETIGA. Para pemikir Islam, ada yang berusaha membedakan antara “Islam” dan “Muslim”, antara “pemahaman/penafsiran Islam” dan “ajaran Islam”. Muhammad Abduh (1849-1905) misalnya menyatakan, “Saya menemukan Islam di Eropa namun tidak menemukan Muslimin di sana”.  Pernyataan Abduh yang lain juga menarik disimak, “Islam itu kadang terbelenggu oleh (pemahaman dan praktek) umat Islam  (al-Islam mahjubun bi al-muslimin).

KEEMPAT. Ulama-ulama abad pertengahan Islam sudah ada yang membahas tentang persoalan “pemimpin Muslim tapi zalim” dan “pemimpin kafir tapi adil”. Ibn Taymiyya (1263-1328) dan Ibn Khaldun (1332-1406)  dianggap sebagai contoh dari ulama yang sudah memperbincangkan persoalan tersebut.  Ibn Taymiyya, misalnya menyatakan  Allah mendukung pemerintahan yang adil meskipun itu kafir, dan sebaliknya  tidak mendukung pemerintah yang zalim bahkan jika itu adalah Muslim. Keadilan  sekalipun  dikombinasikan dengan kekafiran dapat menyokong keberlangsungan pemerintahan dan kemanusiaan, namun ketidakadilan meskipun ia datang dengan Islam tidak akan dapat menjaga keberlangsungan pemerintahan dan kemanusiaan“.

 

 

<< Home

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer