Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Wednesday, May 20, 2015

Justification of Death Penalty for Drug Offenders in Post-militarist Indonesia?

By: Asfa Widiyanto

This particular paper is written in response to Andre Vltchek’s interesting and provoking article entitled “Genocidal Indonesia Executing Drug Convicts” (CounterPunch, April 27, 2015).  Vltchek’s article questions the notion of justice and morality which surround the issue of executing drug convicts.

I understand that in some points people vary in categorizing things as just. For instance we observe pros and contras pertaining to the death penalty for drug offenders, in international world as well as in Indonesia. As we know, nowadays, most notably after 1999, the people in Indonesian enjoy more freedom of opinion.

The arguments of the opponents of death penalty are demonstrated for instance in the article of Vltchek.  They maintain that life is one of the basic rights of human being, and death penalty is a punishment which humiliates the dignity of human being.  They propose that imprisonment could serve as one of the best solutions for drug offenders.

The proponents of death penalty for drug convicts argue that the justice in death penalty for drug dealers is justified in some religious traditions and psychosocial situations. It will serve as shock therapy for those who commit the same criminality. They contend the arguments of the opponents of death penalty, by underlining that drug related criminals are big crimes which disgrace human beings, since it not only takes the life of one person but also life of many people.

I comprehend Vltchek’s arguments that there are also things to be considered like corrupt bureaucrats who support drug business as well as elites who consume drugs. On the other hand, I understand the position of government which tries to eliminate drugs by executing drug convicts.
It seems to me that the position of government fits to a principle “things which cannot be done completely, should not be abandoned entirely”.  Punishing drug dealers (regardless of their nation of origin, be it Indonesian or foreigner) is a good start in terms of law enforcement, nevertheless it should be followed by punishing the bureaucrats who support drug smuggling  as well as the officers of penitentiary who are bribed to be silent to the cases of drug business.

Vltchek also points to the cases of mass killing in East Timor and Papua, which took place most notably during the New Order Indonesia (1966-1998).  He seems to argue that Indonesian government should prioritize the punishment military elites who were responsible for the genocides in East Timor and Papua, rather than showing to the international world that it could execute drug offenders.

I can understand Vltchek’s arguments, nonetheless I was wondering whether the country such as Indonesia, with its military past and accordingly its history was filled by mass killings in the name of national stability, does not have any opportunity to advance itself and to punish the drug dealers which are considered to endanger  the future generation of the country.  


I myself acknowledge that Indonesia still have problems with corruption. Nevertheless we cannot deny the efforts of eradicating corruption which have been undertaken by Indonesia’s Corruption Eradication Commission (KPK) and civil society organizations. Indonesia’s presidential election in 2014 also witnessed the commitment of Indonesian people to disassociate with militarist violent pasts of the country, and accordingly the people preferred the civil personage Joko Widodo instead of Prabowo Subianto (former general who was allegedly responsible for some human rights violations) in the election. Civil society organizations are considered to play a significant role in influencing the people during the election.

 

 

<< Home

Sunnah identik dengan bid’ah?


By: Asfa Widiyanto

Sunnah identik dengan bid’ah? Apakah itu mungkin? Bagi yang kurang paham bahasa Arab ada kemungkinan agak bingung, karena mereka memahami sunnah bid’ah hanya dalam kerangka agama, sehingga bid’ah itu mesti lawan dari sunnah. Dari segi bahasa, secara etimologis bid’ah berarti “kreasi baru” (novelty), inovasi (innovation). Secara etimologis, sunnah berarti “tradisi baru” (new tradition). Ini kan identik. “Kreasi baru” pada dasarnya juga “tradisi baru”. Misalnya, ada yang menciptakan “kreasi baru” berupa jilbab dengan asesoris dasi kupu, maka dia juga sebenarnya meletakkan “tradisi baru” dalam berjilbab.

Dalam bahasa Arab ada kata lain untuk invovasi, misalnya ibda', ibtida',bid'ah, ibtikar. Secara bahasa, secara etimologis, bid'ah dan ibtida' itu semakna. Makna dasarnya adalah innovation (inovasi), novelty (hal-hal yang baru, Neuerung) dan sebangsanya. Hanya saja, dalam penggunakan dalam kalangan agamawan, bid'ah dipahami sebagai "hal yang baru dalam beragama, yang tidak dicontohkan oleh Nabi". Ini adalah pengertian terminologis (ma'na istilahi) menurut agamawan. Tentang pengertian etimologis dari bid'ah bisa dicek di kamus bahasa Arab klasik (misal  Lisan al-Arab) atau modern Arabic dictionary.

Ibda', secara etimologis, maknanya juga hampir sama dengan bid'ah dan ibtida'. Secara terminologis, pernah digunakan filosofis Muslim klasik sbg konsep tersendiri dalam diskursus penciptaan alam. ibda dimaknai sebagai creation from nothing (creation ex nihilo).
Sepanjang pengetahuan saya, dalam memahami istilah bahasa Arab seringkali pemahaman kita akan bahasa lain akan sangat membantu. Begitu juga dengan pemahaman kita akan ilmu-ilmu lain, misal antropologi, sosiologi, filsafat, ilmu politik. Ini karena bahasa Arab bukan hanya bahasa teks-teks agama Islam, selain itu bahasa Arab juga berinteraksi dengan, dan diperkaya oleh, bahasa-bahasa  lain.

Dua makna bid’ah:
1. Kreasi baru, inovasi. Ini adalah arti umum (generic sense) dari bid’ah. Kreasi baru bisa menyangkut keberagamaan, sosial, politik, ekonomi, teknologi dan sebagainya.  Secara bahasa Arab itu tidak hanya digunakan dalam hal agama (Islam) tapi juga dalam berbagai aspek masyarakat. Pesawat terbang, misalnya, adalah sebuah bid’ah (kreasi baru dalam teknologi) yang diciptakan masyarakat modern. Dalam masyarakat Arab era klasik sendiri, tersebut ada seorang Badui mengatakan: ana bada’tuha min ghayr matsal (saya meng-kreasi-nya tanpa ada contoh sebelumnya). Kreasi baru bisa berupa hal yang baik (bid’ah hasanah) ataupun hal yang buruk (bid’ah sayyi’ah).
2. Sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi dalam hal keberagamaan. Dalam hal ini ada dua kriteria:
 a. Syariat al-‘ibadah al-mahdah. Yakni ketentuan syariah tentang ibadah mahdah. Bid’ah dalam hal ini tidak diperbolehkan, misalnya mengubah jumlah raka’at solat maghrib, dari tiga menjadi empat raka’at. Dalam konteks inilah, bias dipahami hadits Nabi: kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fi al-nar (Semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat masuk neraka).
b. Syi’ar dan maslahah. Yakni hal-hal yang tidak dicontohkan oleh Nabi, namun bisa berfungsi untuk mensyiarkan Islam dan kemaslahatan umat. Misalnya: Puji-pujian di masjid yang dilakukan antara adzan dan iqamah, diyakini bisa berkontribusi positif dalam syiar Islam. Contoh lain dalam sejarah Islam adalah pembukuan hadits (tadwin al-hadits). Sebagian ulama’ pada saat itu diriwayatkan enggan melakukan pembukuan hadits karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, namun akhirnya mereka memulai kodifikasi hadits karena melihat maslahat dari hal tersebut).

Dua makna sunnah:
1. Sunnah dalam arti umum (generic sense) berarti “tradisi baru” (new tradition), baik yang ada kaitannya dengan agama maupun tidak, baik tradisi yang jelek (sunnah hasanah) maupun tradisi yang bagus (sunnah sayyi’ah). Hadits yang relevan dalam hal ini adalah: man sanna fi al-Islam sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha ba’dah min ghayr an yanqusa min ujurihim shay’un. Wa man sanna fi al-Islam sunnatan sayyi’atan kana ‘alayhi wizruha wa wizru man ‘amila biha min ba’dih  min ghayr an yanqusa min awzarihim shay’un (Siapa yang membuat tradisi baik dalam Islam, maka ia  akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikuti tradisi itu tanpa mengurangi pahala orang yang mengikuti tradisi tersebut.  Dan siapa yang menciptakan tradisi buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat dosanya dan dosa orang mengikuti tradisi itu tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti tradisi tersebut).
2. Sunnah dalam arti sesuatu yang dicontohkan Nabi (sunat al-Rasul, tradition of the Prophet). Hadits yang relevan  hal ini adalah: man raghiba ‘an sunnati fa laysa minni (siapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku.
(written by Asfa Widiyanto)

 

 

<< Home

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer