Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Wednesday, March 8, 2017

Filsafat Ilmu, Pendidik dan Etika Ilmiah



Oleh: Asfa Widiyanto

Dalam sebuah perkuliahan Filsafat Ilmu, saya menanyakan kepada mahasiswa kira-kira manfaat apa yang bisa diperoleh mahasiswa dengan mengikuti mata kuliah Filsafat Ilmu. Mahasiswa banyak memberikan jawaban menarik, misalnya: wawasan filsafat, sikap kritis, mengarahkan ilmu untuk diabdikan pada kemanusiaan, dan sebagainya.
Dalam kelas tersebut, kemudian saya menjelaskan bahwa salah tugas penting Filsafat Ilmu adalah membentuk „etika ilmiah“. Etika ilmiah dalam hal ini mencakup antara lain “honesty and truth” (kejujuran dan kebenaran), “disinterestedness” (nir-pamrih, tidak memihak), dan “critical argumentation”. 

Etika pertama “honesty and truth” menyiratkan bahwa ilmuwan dan calon ilmuwan (termasuk mahasiswa) harus mempunyai komitmen pada kebenaran dan kejujuran. Ilmuwan tidak akan pernah menyalahi kebenaran, sekalipun dia diiming-imingi segepok uang.

Etika kedua, “disinterestedness” menyiratkan bahwa ilmuwan dan calon ilmuwan adalah sekelompok orang yang nir pamrih dan menjaga idealisme.  Kalaupun memihak, mereka biasanya memihak kemaslahatan umum. Ilmuwan sejati tidak akan memihak pada kepentingan pengusaha/penguasa hanya semata karena alasan uang. Misal: melakukan penelitian abal-abal bahwa perusahaan A adalah tidak member dampak negatif pada lingkungan, hanya semata karena si ilmuwan tadi sudah diberi uang (penelitian) oleh perusahaan A tersebut.

Etika ketiga, “critical argumentation” menyiratkan bahwa ilmuwan dan calon ilmuwan haruslah senantiasa menjaga sikap kritis, dan melihat sesuatu dari sisi argumennnya. Misal: ketika melihat berita di internet, ilmuwan sejati tidak akan percaya begitu saja, namun sebaliknya, berusaha bersikap kritis, dan melihat nilai kebenaran dari informasi tersebut. Ilmuwan sejati akan bersikap kritis terhadap kondisi sekelilingnya, dan mereka tidak serta merta menerima begitu saja apa yang ada di sekelilingnya, tidak pernah menganggapnya sebuah kewajaran yang tidak boleh dikritisi. Lebih jauh, ilmuwan sejati akan selalu berupaya mencari kebenaran dengan membangun argumentasi yang memadai. Mereka bukanlah orang yang menjustifikasi kebenaran dengan mengatakan, “kebenaran sudah berada di kita, tugas kita cuma mencari pembenarannya”.

Dengan demikian, dampak mata kuliah Filsafat Ilmu sebenarnya lebih terlihat ketika mahasiswa tersebut sudah lulus dan bekerja (misal: jadi guru atau dosen). Guru atau dosen yang menghayati Filsafat Ilmu tadi akan menerapkan etika ilmiah.  Begitu juga sebaliknya. Semoga generasi mendatang akan dipenuhi guru dan dosen yang menjunjung tinggi etika ilmiah, bukan guru dan dosen yang pragmatis dan apatis. Amin. Saya prihatin dengan dunia pendidikan kita sekarang yang lebih mengutamakan aturan-aturan administratif, dibanding hal-hal yang lebih substantif, seperti etika ilmiah. Sehingga, mirisnya, guru dan dosen lebih memahami dan menghayati aturan administratif daripada etika ilmiah.
Herzliche Grüße/ salam hangat, Asfa Widiyanto

 

 

<< Home

Thursday, March 2, 2017

ILMUWAN, AGAMAWAN, POLITISI DAN BUSINESSMAN

by Asfa Widiyanto

 Ilmuwan-intelektual selayaknya menjunjung tinggi etika ilmiah, semacam honesty and truth (kejujuran dan kebenaran), dan disinterestedness (nir-pamrih, tidak memihak). Kalaupun harus memihak, mereka biasanya memihak pada kemaslahatan umum.
Ilmuwan-intelektual idealnya tidak bersikap pragmatis dan apatis. Mereka jarang sekali berprinsip "ana obah ana upah" (setiap gerak/aktivitas harus ada imbalan ekonomisnya). Apalagi berprinsip "yang penting keluarga saya hidup berkecukupan. Perkara bangsa ini mau hancur, itu bukan urusan saya. EGP".

Agamawan selayaknya menjunjung tinggi etika agama. Perbuatan mereka selayaknya dilandasi keikhlasan, karena mereka adalah "pelayan umat" (khadim al-ummah). Oleh karena itu mereka harus memperhatikan kemaslahatan umat. Agamawan sejati jarang sekali berpikir pragmatis. Mereka tidak akan pernah berprinsip, "yang penting keluarga saya berkecukupan, yang penting politisi/ businessman yang saya bela menang. Perkara umat ini terpecah belah itu bukan urusan saya. EGP" (lagi-lagi EGP hehe).

Kedua kelompok tadi (ilmuwan-intelektual dan agamawan) idealnya menjadi pengontrol dan penyeimbang dari politisi dan pelaku bisnis (businessman). Hanya saja, kadang (atau bahkan sering) ilmuwan-intelektual dan agamawan tadi "dikooptasi" (untuk tidak mengatakan "dikangkangi") oleh kepentingan politisi dan businessman. Sehingga mereka akhirnya agak bergeser dari nilai-nilai luhur yang seharusnya mereka pegang teguh.

 

 

<< Home

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer