Oleh: Asfa Widiyanto
Dalam sebuah perkuliahan Filsafat Ilmu, saya menanyakan
kepada mahasiswa kira-kira manfaat apa yang bisa diperoleh mahasiswa dengan
mengikuti mata kuliah Filsafat Ilmu. Mahasiswa banyak memberikan jawaban
menarik, misalnya: wawasan filsafat, sikap kritis, mengarahkan ilmu untuk
diabdikan pada kemanusiaan, dan sebagainya.
Dalam
kelas tersebut, kemudian saya menjelaskan bahwa salah tugas penting Filsafat
Ilmu adalah membentuk „etika ilmiah“. Etika ilmiah dalam hal ini mencakup
antara lain “honesty and truth” (kejujuran dan kebenaran), “disinterestedness”
(nir-pamrih, tidak memihak), dan “critical argumentation”.
Etika
pertama “honesty and truth” menyiratkan bahwa ilmuwan dan calon ilmuwan
(termasuk mahasiswa) harus mempunyai komitmen pada kebenaran dan kejujuran.
Ilmuwan tidak akan pernah menyalahi kebenaran, sekalipun dia diiming-imingi
segepok uang.
Etika
kedua, “disinterestedness” menyiratkan bahwa ilmuwan dan calon ilmuwan adalah
sekelompok orang yang nir pamrih dan menjaga idealisme. Kalaupun memihak, mereka biasanya memihak
kemaslahatan umum. Ilmuwan sejati tidak akan memihak pada kepentingan
pengusaha/penguasa hanya semata karena alasan uang. Misal: melakukan penelitian
abal-abal bahwa perusahaan A adalah tidak member dampak negatif pada
lingkungan, hanya semata karena si ilmuwan tadi sudah diberi uang (penelitian)
oleh perusahaan A tersebut.
Etika
ketiga, “critical argumentation” menyiratkan bahwa ilmuwan dan calon ilmuwan
haruslah senantiasa menjaga sikap kritis, dan melihat sesuatu dari sisi
argumennnya. Misal: ketika melihat berita di internet, ilmuwan sejati tidak
akan percaya begitu saja, namun sebaliknya, berusaha bersikap kritis, dan
melihat nilai kebenaran dari informasi tersebut. Ilmuwan sejati akan bersikap
kritis terhadap kondisi sekelilingnya, dan mereka tidak serta merta menerima
begitu saja apa yang ada di sekelilingnya, tidak pernah menganggapnya sebuah
kewajaran yang tidak boleh dikritisi. Lebih jauh, ilmuwan sejati akan selalu
berupaya mencari kebenaran dengan membangun argumentasi yang memadai. Mereka
bukanlah orang yang menjustifikasi kebenaran dengan mengatakan, “kebenaran
sudah berada di kita, tugas kita cuma mencari pembenarannya”.
Dengan
demikian, dampak mata kuliah Filsafat Ilmu sebenarnya lebih terlihat ketika
mahasiswa tersebut sudah lulus dan bekerja (misal: jadi guru atau dosen). Guru
atau dosen yang menghayati Filsafat Ilmu tadi akan menerapkan etika ilmiah. Begitu juga sebaliknya. Semoga generasi
mendatang akan dipenuhi guru dan dosen yang menjunjung tinggi etika ilmiah,
bukan guru dan dosen yang pragmatis dan apatis. Amin. Saya prihatin dengan dunia
pendidikan kita sekarang yang lebih mengutamakan aturan-aturan administratif,
dibanding hal-hal yang lebih substantif, seperti etika ilmiah. Sehingga, mirisnya,
guru dan dosen lebih memahami dan menghayati aturan administratif daripada
etika ilmiah.
Herzliche Grüße/ salam hangat, Asfa Widiyanto