Assalamu’alaykum
warahmatullah wa barakatuh
الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ 3 X لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَالله ُأكْبَرْ الله ُأكْبَرْ
وَلِلَّهِ الْحَمْد ،
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ بِنِعمَتِهِ تَتِمُّ
الصَّالِحَاتِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلاَ أنْ
هَدَانَا الله ُ ، أشْهَدُ أنْ لاَإلَهَ إلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ
الَّذِيُ خَصَّنَا بِخَيْرِ كِتَابٍ أُنْزِلَ وَأَكْرَمَنَا بِخَيْرِ نَبِىٍّ
أُرْسِلَ وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النٍّعْمَةَ بِأَعْظَمِ دِيْنِ شَرْعٍ دِيْنِ
اْلإسْلاَمِ ، أليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإسْلَمَ دِيْنًا ، وَ أشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أَدَّى اْلأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ
وَنَصَحَ اْلأُمَّةَ وَتَرَكَنَا عَلىَ اْلمَحَجَّةِ اْلبَيْضَاءِ لَيْلُهَا
كَنَهَارِهَا ، لاَيَزِيْغُ عَنْهَا إلاَّ هَالِكٌ, أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحَابَتِهِ الطَّاهِرِيْنِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإحْسَانٍ إلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
. أمَّا بَعْدُ,
فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ, وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ وَعِيْدٌ
كَرِيْمٌ, قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : وَلِتُكْمِلُوْا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا
اللهَ عَلىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ :
Makna Fitrah dan Idul Fitri
Allah akbar Allah akbar Allah akbar
wa lillahil hamd.
Kaum muslimin dan muslimat yang
dimuliakan Allah.
Ramadan telah meninggalkan kita, dan
idul fitri menemui kita. Ramadan berpisah dengan kita, dan kita berucap seperti
ucapan orang-orang arif Muwada´ muwada’ ya ramadhan, muwada` alayna
bi al-ghufran (Selamat tinggal wahai ramadhan, tinggalkanlah kami, disertai
dengan pngampunan dari Allah).
Idul fitri kita sambut dengan suka
cita dan bahagia, karena kita mengharap bahwa dengan kedatangannya, kita
kembali kepada fitrah kesucian kita. Dengan kedatangannya kita seperti yang dilukiskan
oleh rasul saw, mudah-mudahan kita menjadi seperti seorang bayi yang baru
dilahirkan oleh ibunya, terbebaskan dari dosa, terbebaskan dari noda.
Kalau kita mempersilakan bulan ramadan
berangkat meninggalkan kita, dengan harapan kiranya Allah mengampuni dosa kita,
maka idul fitri kita sambut dengan ucapan taqabbalalllah
minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kebajikan kita, saya dan anda) serta
mina al-aidin wal faizin (smoga kita
termasuk kelompok yang kembali pada fitrah kesucian dan kelompok yang meraih
kemenangan).
Menarik untuk kita hayati bahwa
ucapan kita minal aidin wal faizin
kita kemukakan dalam bentuk plural, jama’. Kita ingin termasuk bersama-sama
dalam kelompok, dalam jamaah, orang-orang yang meraih kemenangan. Al-Qur’an tidak
mengajarkan kita, untuk berkata semoga saya termasuk kelompok orang-orang yang
kembali, yang meraih kemenangan, tapi semoga kita. Karena ajaran agama kita,
ajaran agama Islam, mengajarkan kebersamaan. Oleh karena itu tidak temukan dalam
al-Quran kata saya menang, afuzu, kecuali
sekali, itupun diucapkan oleh orang-orang yang hatinya tidak tersentuh keimanan.
Karena memang mereka hanya ingin menang sndiri, mereka tidak prnah ingin hidup
dalam kebersamaan. Semoga dengan idul fitri, kita sebagai bangsa dan sebagai
umat, bisa hidup dalam kebersamaan.
(Shihab, 2009)
Allah akbar
Allah akbar wa lillahil hamd
Jamaah shalat idul fitri yg dimuliakan Allah.
Kata Id al-Fitr sendiri paling tidak
mengandung dua makna:
-kembali makan pagi, sarapan. al-futur. Karena pada hari ini kita kembali
makan pagi, setelah sebulan lamanya kita berpuasa. Pada hari ini kita dilarang
utk berpuasa.
-kembali pada kesucian. Al-‘awdah
ila al-fitrah.
Pada hari ini kita idealnya, bisa
kembali kepada kesucian, fitrah, kita, setelah kita sebelum lamanya digembleng,
di bulan ramadhan, yang dijuluki sebagai shahr
al-`ibadah, shahr al-quran, shahr al-rahmah dan sebagainya.
Hari ini dinamakan disimbolkan sebagai
Id al-Fitr, karena tujuan kita memang kembali ke kesucian. Proses kembali
kepada kesucian ini adalah proses panjang tak kenal henti. Dalam khazanah
tasawuf sering diungkapkan dengan istilah tazkiyat
al-nafs (pembersihan jiwa).
Kemudian apa sebenarnya arti fitrah?
Kata fitrah adalah kata benda (masdar) dari kata kerja fatara. Kata ini berarti khalaqa, menciptakan. Disebutkan sebagian ulama; Ana
fatartuha, artinya ana bada’tuha min ghayr mithlin. (Aku menciptakannya tanpa
ada model sebelumnya, tanpa contoh). Dari itu, kata fitrah identik dg kata khaliqah.
perangai dasar manusia, pada saat diciptakan, yakni condong pada kebenaran dan
kebaikan (al-mayl
ila al-haqq wa al-khayr).
Fitrah adalah sesuatu yang sesuai dengan asal kejadian
alam dan manusia, ketika mula pertama diciptakan Allah. Fitrah adalah kesucian
yang bersemayam di dalam diri kita sejak kita diciptakan, saat ibu mengandung,
sebagaimana firman Allah swt:
Fa-aqim wajhaka li-ddini hanifan fitrata-llaha-llati fataran-nasa
‘alayha, la tabdila li-khalqillah, dhalika-ddin-ul-qayyimu wa lakinna
akthara-nnasi la ya’lamun.
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum/30:30)”.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang terikat
dengan “perjanjian asalnya/primodialnya” sebagai makhluk yang sadar
kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan sebagaimana firman Allah swt:
Wa-idh akhadha rabbuka min bani Adama min zuhurihim
dhuriyyatahum wa-ashhadahum ‘ala anfusihim alastu birabbikum qalu bala
shahidna, an taqulu yawmal-qiyamati inna kunna ‘an hadha ghafilin
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)" (QS. Al-‘A’raf/7:172).
Allah akbar
Allah akbar Allah akbar wa lillahil hamd
Agama Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah,
karena memperhatikan kebutuhan fisik, sosial dan spiritual manusia secara
seimbang. Agama Islam adalah kesinambungan dari ajaran monoteism
yang dibawa Nabi Ibrahim alayhi al-salam. Ajaran inilah yang diungkapkan,
dilukiskan al-Qur’an sebagai din al-qayyimah. Yang oleh sementara mufassir
diartikan sebagai din al-millah
al-qayyimah (agama dari kelompok yang lurus).
Untuk lebih jelasnya, sekarang kita lihat, apa
sebenarnya arti kata Islam:
-salam (damai)
-salamah (keselamatan)
-silm (udkhulu fi al-silm kaffah) (penyerahan diri secara total pada Allah).
al-khudhu`
wa al-inqiyadh li al-khaliq, li al-mahbub
Islam sebagai bentuk kepasrahan
total ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. Beliau telah menunjukkan
kpasrahan tulus, sampai beliau ikhlas, pasrah ketika diperintahkan Allah untuk
menyembelih ismail, anak yang sangat dikasihinya.
Karena itu disebutkan dalam
al-Qur’an:
Ma kana ibrahimu yahudiyan wa la
nasraniyan walakin kana hanifan musliman wa ma kana min al-mushrikin.
Juga disebutkan dalam ali Imran 95:
fattabi’u millata ibrahima hanifan wa ma kana min al-mushrikin.
Hanifan, jelas ditandaskan dalam al-Qur´an untuk
menunjukkan kelurusan ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Dalam kerangka
itu, kemudian sementara ulama menganjurkan bahwa, kita seyogyanya menjunjung
dan mengembangkan pola keberagamaan yang hanifiyah samhah, yang lurus dan
lapang.
Makna
dan Implikasi Takbir dan Tahmid
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar wa lillahil hamd.
Jamaah yang dirahmati Allah,
Pada hari ini, dan juga pada malam takbiran, kita
sebagai umat Islam mengumandangkan takbir, tahmid, tahlil, sebagai pernyataan
syukur kita pada Allah dan penegasan akan keesaan dan kebesaran Allah.
Sekarang kita hayati lebih dalam, apa sebenarnya makna
dari kalimat-kalimat tayibah itu?
Pernyataan Allah
akbar (Allah Maha Besar) menegaskan akan keagungan dan kebesaran Allah. Menurut
sementara ulama, kalimat ini juga menandaskan dan mengandung makna lain yang
merujuk pada orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Orang yang mengucapkan
kalimat tersebut, sebaiknya menyadari bahwa kalimat tersebut mengandung
implikasi:
- ana
asghar al-makhluqat (saya makhluk yang paling rendah),
- ana awhan
al-mawjudat, ana ahqar
al-khalaiq, qabil li al-nuqsan wa al-khataya (saya makhluk paling hina
dina yang tidak luput dari kekurangan dan kealpaan).
Implikasi dari kalimat takbir yang disebutkan tadi sebaiknya
kita hayati terutama ketika kita beribadah. Dan pada gilirannya akan terbawa dalam
muamalah, interaksi dengan orang lain. Sehingga kita tidak merasa paling benar,
lebih baik dari org lain, apalagi sampai menggunakan kalimat Allah akbar, untuk mensyahkan,
melegitimasi, perlakuan kita yang kurang pantas pada orang lain, hanya semata karena
kita merasa paling benar.
Juga karena menyadari sebagai makhluk yang tidak luput
dari kekurangan dan kealpaan, maka kita juga merasa perlu meminta maaf jika
melakukan kesalahan pada orang lain. Hal ini sangat disadari oleh umat Islam Indonesia
makanya mereka membudayakan “halal bi halal”. Walau kosa kata “halal bi halal”
sendiri kurang dikenal di dunia arab, tapi budaya dan tradisi ini mencerminkan
semangat dan ajaran Islam. Dalam hal ini, kiranya perlu mengemukan sebuah hadith:
man kaana ‘indahu mazlamatun li akhihi falyastahlilhu al-yawm (barang siapa
melakukan hal-hal yang kurang berkenan di hati org lain, maka hendaklah dia
meminta maaf, meminta dihalalkan, pada hari itu).
Itu antara lain makna dari kalimat takbir yang kita
kumandangkan pada hari raya idul fitri. Adapun kalimat tahmid (wa lillah al-hamd, bagi-Nya-lah segala
puji), merupakan pernyataan rasa syukur atas segala nikmat yang telah kita
terima sebagai manusia. Dikisahkan, bahwa junjungan kita nabi Muhammad saw
adalah orang yang sangat bersyukur. Diriwayatkan bahwa ada seorang sahabat yang
bertanya: wahai Rasul, mengapa engkau, masih mau bersusah payah untuk melakukan
shalat malam, sehingga kakimu sampai bengkak, padahal engkau sudah dijanjikan
masuk surga? Rasululllah menjawab: Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang
bersyukur.
Implikasi lain dari kalimat tahmid ini adalah husnuzzann billah (berprasangka baik
kepada Allah). Kadang kita sering tergesa-gesa, misalnya ketika doa kita, dan
keinginan kita, belum dipenuhi, belum dikabulkan oleh Allah. Kita lantas
berprasangka, Allah kurang perhatian dengan kita, padahal kita sudah berdoa dan
beribadah dengan tekun. Padahal, sebagaimana kata para ‘ulama, belum
dikabulkannya doa kita mesti didasarkan atas kebijaksanaan Allah, atas
hikmah-Nya, sebagai sebaik-baik pengatur urusan, khayr al-mudabbirin.
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – «
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا
ذَكَرَنِى
Artinya:
Nabi bersabda: Allah Ta'ala berfirman:"Aku menurut persangkaan
hamba-hambaKu,dan Aku bersama dia, ketika dia menyebut dan mengingatKU“
(HR. Bukhari no. 6970
dan Muslim no. 2675)
Adapun tahlil (la
ilaha illa Allah) menandaskan pengakuan akan keesaa Allah. Kalimat ini juga
mengandung makna bahwa kita menjadikan Allah semoga satu-satunya tujuan, dan
hanya mengharap ridha-Nya, sebagaimana ungkapan yang sering diucapkan oleh para
'ulama', Ilahi anta maqsudi, wa ridhaka
matlubi (Wahai Tuhanku, cuma Engkau satu-satunya tujuan, dan hanya ridha-Mu
yang aku harapkan.
Adab ma’a al-khaliq
Allahu
akbar Allahu akbar Allah akbar wa lillahil hamd.
Jamaah shalat idul fitri yang dirahmati Allah.
Ketika mengumandangkan takbir dan tahmid di hari raya
idul fitri, sang bilal sering mengucapkan frase: mukhlisan lahu al-din (seraya mengikhlaskan segala ketaatan kita). Dalam
kaitan ini, kiranya saya perlu mengutip perkataan seorang ‘ulama, tentang adab
beribadah kepada Allah.
Dalam beribadah kepada Allah sebaiknya kita menjaga adab,
sopan santun sebagaimana layaknya hamba. Kita jangan kelewat percaya diri bahwa
amalan kita itu layak mendapatkan pahala dari Allah. Sebab rasa bangga dan
percaya diri yang berlebihan akan amalan kita bisa berpotensi merusak nilai
amalan kita. Oleh karena itu, ulama tersebut menganjurkan untuk mengucapkan
kalimat berikut ketika kita beribadah:
“Ya Allah, aku malu
mempersembahkan amalan ini kehadiratmu. Maafkanlah atas segala kekurangan dan
kekurangmampuanku dalam menyembah dan bersyukur kepadaMu sebagaimana layaknya
Engkau disembah dan dipuja.”
Dikisahkan oleh sohibul hikayat
(sebagaimana dituturkan kembali oleh Sheikh Nazim al-Haqqani), ada seorang wali
yang setiap datang ke masjid untuk berjama´ah, dia senantiasa rela menunggu
sampai semua jama´ah masuk ke masjid dulu. Setelah itu dia baru masuk ke masjid,
berdiri di samping rak sepatu dan melaksanakan shalat di situ. Seusai shalat,
dia langsung lari keluar seraya berujar dalam batin, „Puji syukur pada Allah
yang telah menutupi kejelekan dan aibku sehingga tidak ada orang yang
mengetahuinya. Jika mereka ini tahu apa sebenarnya yang tersembunyi dalam
diriku tentu mereka akan menyeretku keluar dari masjid, dan melempariku dengan
sepatu.“
Dalam kaitan dengan ini perlu juga kita tengok salah ssatu
perkataan Sayyidina Umar Ibn Khatthab r.a., salah satu sahabat Nabi tercinta. „Seandainya
semua orang masuk sorga kecuali satu orang; aku khawatir satu orang itu
aku."
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam
semesta
Allahu
akbar Allahu akbar Allah akbar wa lillahil hamd.
Jika kita menengok khazanah klasik Islam, kita mungkin
menjumpai bahwa salah satu kategori jiwa yang utama adalah "jiwa yang
senantiasa dipenuhi dengan rahmat-Nya" (al-nafs al-rahmaniyah). Jiwa
kategori ini merupakan "wadah" yang memantulkan (dengan kadar yang
relatif tinggi) akan sifat Allah yang Maha Pengasih (al-Rahman). Makhluk yang
dianugerahi Allah dengan kondisi jiwa semacam itu akan lebih mengedepankan
"berpikir positif" daripada "berpikir negatif", perasangka
baik daripada prasangka buruk. Bahkan dia dengan senang hati mendoakan orang
yang berseberangan dengan dia, seraya menyadari bahwa orang yang berseberangan
itu juga layak mendapat rahmat-Nya sehingga selalu tertuntun ke arah kebaikan.
Makhluk yang berjiwa rahmani ini juga menyadari bahwa kekerasan atas nama apapun kurang bisa diterima, baik atas nama stabilitas politik, atas nama paham keagamaan tertentu atawa atas nama pembersihan etnis. Semua kekerasan itu berpangkal pada asumsi bahwa "kita diperkenankan dan berhak melakukan kekerasan pada makhluk yang ditakdirkan Allah untuk berbeda dengan kita." Atau dengan kata lain, kita berpandangan bahwa, “mereka kurang layak menyandang status manusia".
Makhluk
berjiwa rahmani tadi juga menyadari bahwasanya, “wa rahmati wasi´at kulla
shay´(Rahmat-Ku, rahmat Allah, menjangkau dan meliputi segala sesuatu)”. Kalimat
tersebut menandaskan bahwa rahmat Allah itu sangat luas, tidak terbatas, dan
meliputi segala sesuatu di alam semesta, termasuk antara lain orang-orang yang
sementara ini berseberangan dengan kita. Bahkan dilukiskan bahwa
kapas yang berhamburan tertiup angin pun mendapatkan rahmat Allah. Salah
satu pengejawantahan dari ajaran Islam, yang bertujuan memberikan rahmat pada
sekalian alam, adalah sebuah hadith yang mengisahkan seseorang yang
diperkenankan Allah untuk masuk surga karena telah memberi minuman pada anjing
yang kehausan. Bahkan dikisahkan anjing milik Ashab al-Kahf (sekelompok pemuda
taat yang tertidur di gua) pun diperkenankan masuk surga (yang merupakan
manifestasi rahmat Allah).
Islam dan Pola Keberagamaan
yang Santun
Allahu
akbar allahu akbar wa lillahil hamd.
Jamaah shalat idul fitri athabakumullah.
Setelah melihat makna fitrah, Islam sebagai agama yang
sesuai dengan fitrah, dan sifat yang rahim (penuh rahmat, nebarkan rahmat)
sebagai salah satu indikasi fitrah. Akhir-akhir ini kita tersentak dan prihatin
dg aksi terorisme yg sering kita dengar di berbagai belahan dunia, termasuk
negeri kita cinta tercinta. Memang fundamentalisme itu bukan hanya ada di agama
Islam, juga ada di agama lain, namun dengan adanya peristiwa-peristiwa itu kita
seharusnya berkaca, otokritik, sehingga wajah Islam yang sebenarnya ramah itu
tidak tercoreng dengan adanya aksi-aksi yang kurang manusiawi. Islam yang
rahmatan li al-´alamin harus kita tunjukkan, tekankan kembali pada dunia.
Penutup
Allah
akbar Allah akbar wa lillahil hamd
Kaum muslimin dan muslimat jamaah shalat idul fitri
yang dimuliakan Allah.
Kita harus menyadari bahwa hidup di alam semesta ini,
sering ditamsilkan sebagai ujian, cobaan, atau proses pembelajaran. Dan
tentunya kesetiaan kita terhadap kebenaran dan kebaikan akan dihargai oleh
Allah, yang Maha Benar dan Maha Baik, dengan mendapatkan limpahan kasih sayang-Nya
di dunia dan di hari kelak, insha'allah. Dan yang lebih penting dari itu adalah
menjadikan Allah semoga satu-satunya tujuan, seraya hanya mengharap ridha-Nya,
sebagaimana ungkapan yang sering diucapkan oleh para 'ulama', "Ilahi anta
maqsudi, wa ridhaka matlubi" (Wahai Tuhanku, cuma Engkau satu-satunya
tujuan, dan hanya ridha-Mu yang aku harapkan.
Di bagian akhir khutbah ini, saya ingin mengajak para jama’ah dan terutama saya
sendiri untuk merenungkan perkataan seorang ´ulama´abad ke-19: "Ada satu sifat yang jika
melekat pada diri seorang anak manusia, berpotensi menurunkan derajat manusia
tersebut di hadapan Sang Pencipta. Sifat atau perangai tersebut adalah merasa
dirinya lebih berilmu, lebih utama, lebih bersih dan lebih suci daripada orang
lain."
Di penghujung khutbah pertama ini, saya juga mengajak jama’ah dan terutama saya sendiri untuk merenungi salah satu hadith. Hadith tersebut adalah, "
Semoga di hari yang fitri ini, kita dibebaskan dari
rasa suuzzann yang tidak pada tempatnya, dari dengki pada sesama mu’min, dari
perasaan merasa paling suci, lebih suci dari saudara kita yang lain (Asfa
Widiyanto).
Barakallah li wa lakum fi al-qur’an al-azim wa
nafa‘ani wa iyyakum bimaa fihi minal aayati wa dzikril hakim. wa nafa‘ani wa
iyyakum bimaa fihi minal aayati wa dzikril hakim. Aquulu
qawli haadzaa wastaghfirullaha liwalakum walisaa iril muslimina min kulli
dhanbi. Fastaghfiruhu innahu huwal ghofur-u-rrahim.