|
| |
|
Menginvestasikan Waktu untuk Kebencian atau untuk Persaudaraan?
oleh: Asfa Widiyanto
Persoalan ahok bukan semata persoalan agama belaka, tapi juga persoalan
politis. Dua hal inilah yang bikin ruwet. Politisi sangat paham bahwa
isu minoritas dan sentimen keagamaan merupakan hal yang mudah "digoreng"
dan "dijual" dan banyak calon pembelinya.
Sebagian "pembeli"
dengan semangatnya membela pandangannya dan kelompoknya, seraya meyakini
bahwa sikap semacam ini adalah tuntutan keimanan yang bersemi di d alam
lubuknya. Yang lebih jauh dari itu, adalah meyakini bahwa yang berbeda
dengan mereka adalah munafik, imannya dipertanyakan dan sebagainya.
Diskusi tentang Ahok saya lihat semakin menyeruak dan memuncak di
social media. Di beberapa grup wa, tensinya sangat tinggi, dan membuat
anggota wa terbelah menjadi kubu-kubu. Situasi semacam ini tentunya
kurang sehat dan berpotensi merusak silaturahim antar teman. Padahal
silaturahim itu tetap diperlukan, bukan cuma pas pilkada tapi juga
selama hidup kita, karena kodrat manusia memang tidak bisa hidup
sendirian, terpisah dari kelompok dan masyarakat lain.
Dari
polarisasi dan keterpecahan tersebut, yang jelas-jelas untung adalah
sebagian politisi yang oportunis, dan musuh-musuh kita yang ingin umat
dan bangsa ini bercerai berai. Lha, terus umat dan bangsa Indonesia
dapat keuntungan dan maslahat apa?
Herzliche Grüße/ salam hangat, Asfa Widiyanto
Internet itu Seperti Tempat Sampah?
oleh: Asfa Widiyanto
Mengkonsumsi media (terutama online media) itu perlu kearifan, supaya
bisa memilah. Kata sebagian ilmuwan, internet itu banyak sampahnya,
pembaca harus jeli. Kyai, profesor dan orang waras bisa menuangkan hasil
pikirnya di internet. Tapi di internet juga ada tulisan dari tukang
fitnah, orang gila, psikopat dan sebangsanya. Kadang ada saatnya kita
menjauhi social media sejenak, terutama WA groups, supaya pikiran kita
tdk terlalu penuh, sehingga kita bisa berpikir jernih. Kalau kita merasa
bahwa pikiran kita sudah tidak jernih lagi, ada baiknya kita periksa
smartphone kita, dah berapa puluh WA groups yang kita ikuti? Kebanyakan
ikut WA groups bisa berpotensi menurunkan kejernihan dan kewarasan kita.
Herzliche Grüße/salam hangat, Asfa Widiyanto
Mengembangkan kewarasan atau mengikuti ketidakwarasan?
oleh: Asfa Widiyanto
Di
dalam kehidupan kita, acapkali kita dihadapkan pada pilihan antara
kewarasan dan ketidakwarasan. Contoh kecil, adalah diserobotnya jalur
sepeda ontel oleh pengendara motor.Berhadapan dengan pengendara motor
yang keras kepala, seringkali pengonthel, yang seharusnya lebih berhak,
harus menunjukkan kewarasannya, harus ngalah. Di sisi lain, pengendara
motor di belakang mengikuti ketidakwarasan yang dicontohkan pengendara m otor yang sebelumnya, dan menganggapnya sebagai kewajaran.
Contoh lain adalah dalam kehidupan beragama dan berpolitik. Kelompok
pertama menganggap bahwa menggunakan agama sebagai alat politik, itu
syah-syah saja. Perkara umat nantinya terpecah belah, bahkan perang
saudara, itu bukan urusan mereka. Yang penting mereka bisa mendapatkan
kursi kekuasaan. Bagi mereka, hal itu adalah kewajaran. Sedangkan
kelompok yang kedua, berpendapat bahwa agama adalah nilai luhur yang
menjadi landasan etika berpolitik. Agama tidak selayaknya kita paksa
melayani syahwat kekuasaan kita. Fitnah dan pembunuhan karakter tidak
selayaknya kita halalkan demi mengalahkan pesaing kita, sekalipun
pesaing kita dari agama yang berbeda. Kemaslahatan umat dan bangsa harus
kita utamakan dibanding kemenangan kelompok kita.
Dari dua
ilustrasi ini, bisa direnungkan, manakah yang layak disebut kewarasan?
Haruskah ketidakwarasan di sekeliling kita diikuti begitu saja, secara
membabi buta?
Herzliche Grüße/ salam hangat, asfa widiyanto
MENCARI KEBENARAN ATAU MENCARI PEMBENARAN?
Oleh: Asfa Widiyanto
Membludaknya informasi di internet dan maraknya diskusi di
media sosial, kadang membuat sebagian kita agak kebingungan dan kehilangan
arah. Ada baiknya kita renungkan, kita mencari kebenaran atau mencari
pembenaran?
A. Mencari Kebenaran
Kelompok ini berusaha menahan emosi dan penghakiman terhadap
informasi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Mereka berusaha memaksimalkan
akal sehat untuk melihat informasi yang ada di hadapannya: informasi ini
ditulis oleh siapa? Apa kira-kira
maksud implisitnya? Apakah informasi ini mengandung kebenaran? Apakah informasi
ini membawa dampak positif atau negatif buat masyarakat? Dan seterusnya....
Kelompok
ini meyakini (sebagaimana keyakinan Imam Syafii): pendapat saya adalah benar,
tapi mengandung kesalahan. Sedangkan pendapat orang lain itu salah,
namun mengandung kebenaran.
B. Mencari Pembenaran
Kelompok ini kadang „tergoda“ untuk mengamini dan menerima sekelompok
informasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka seringkali bersemangat
meng-copy-paste dan men-share postingan yang selaras dengan keinginan mereka,
tanpa terlebih dulu membaca secara seksama postingan atau berita tersebut.
Sedangkan sekelompok informasi lain, sering mereka tolak mentah-mentah tanpa
terlebih dulu melihat: informasi ini
ditulis oleh siapa? Apa kira-kira maksud implisitnya? Apakah informasi ini
mengandung kebenaran? Apakah informasi ini membawa dampak positif atau negatif
buat masyarakat?
Kelompok ini meyakini bahwa: kebenaran itu cuma satu, dan
itu (hampir) secara penuh ada di pihak saya.
Herzliche Grüße/Salam hangat, Asfa Widiyanto
| |